Sore hari digedung H, kini keheningan, suara jam dinding dan suara riuh di kepala wijaya menyatu. Wijaya mencoba menenangkan dirinya sendiri dihadapan dosen maut itu. Wijaya hanya menyibukan hatinya dengan mengingat nama-nama sang pencipta yang maha baik. Wijaya berusaha memecah keheningan itu.
Wijaya Alaska “Permisi bapak, mohon maaf ada yang bisa saya bantu? Tadi pagi bapak menyuruh saya ke kantor” keringatnya sudah menetes, bibirnya basah dengan balutan air liur bahkan tak kuasa dia menelan ludahnya ke tenggorokan. Apa sanksi yang harus dia terima.
Dosen “ Tolong bantu saya merekap nilai tugas kelasmu” katanya dengan ketus
Wijaya Alaska “Baik bapak, akan saya bantu selesaikan” Batinnya bergejolak, otaknya bingung tujuh keliling, nafasnya terasa lebih plong, apa wijaya tidak salah mendengar, hanya untuk ini?, wijaya tidak berani banyak berucap, yang terpenting dia menyelesaikan tanggung jawabnya.
Sementara, di sudut kota yang sama namun di tempat berbeda. Dalam kedinginan seseorang mendekap setengah tubuhnya, tubuhnya menahan hembusan angin AC yang entah di suhu berapa, kepalanya sudah terasa berat sedari matahari terbit hingga hampir tenggelam masih berada di ruangan itu. Perlahan ia melangkahkan kakinya keluar mencari kehangatan diantara celah sinar surya sore hari. Ia menuruni tangga, kakinya bergetar, perutnya meraung seperti meminta jatahnya, tubuhnya lesu, sekarang ia pasrah kemana kaki akan membawanya, ia hanya ingin merasa tenang setidaknya hanya beberapa menit sebelum matahari tenggelam, sudah bisa dipastikan kakinya akan membawa ia pada sebuah taman dengan berbagai kehangatannya. Perempuan itu bernama “Renjana Mahera Semesta”.
Renjana “Bu, biasa ya makan disini” renjana mengulurkan uang dengan tangan kananya, ibu penjual bakso itu sudah sangat hafal takaran porsi bahkan apa saja yang renjana tidak suka dalam seporsi mangkok bakso itu.
Penjual bakso “ Oke siap neng” sambil mengacungkan jempol seakan sudah sangat paham.
Renjana berusaha mencari tempat duduk ternyaman yang biasa ia singgahi untuk menikmati ketenangan di sore hari. Bola matanya mengitari setiap sudut taman itu. Ia menemukan tempat duduk favoritnya yang biasa ia singgahi, namun ada sesosok laki-laki disana, kakinya tetap menyuruhnya melangkah. Tepat berada dibawah pohon besar, dibelakang ayunan, disebelah kanan laki-laki, disebelah kiri bangku favoritnya kini dia berdiri. Matanya berusaha mengamati, seperti tidak asing tapi siapa. Wijaya perlahan mencopot kedua headset yang terpasang ditelinganya menatap serius tubuh perempuan disebelahnya. Ia merasa seperti sudah sangat mengenal tubuh itu. Rasanya mulutnya gatal sekali ingin mengucap sebuah nama, sialnya Wijaya tidak mengingatnya.
Renjana “ALASKA?” mulutnya mencoba menyebut sebuah nama, entah tapi dia paham sekali tubuhnya, apa mungkin benar?
Wijaya Alaska “Kamu mengenalku?” tubuhnya berdiri merasa namanya dipanggil, tapi siapa dia, aku seperti sudah sangat kenal tapi kenapa berbeda.
Renjana “ Aku Renjana Mahera Semesta” Bagaimana mungkin renjana lupa pada sosok orang yang yang mengajarinya kehangatan dari sebuah matahari terbit dan tenggelam.
Wijaya Alaska “Renjana? Kamu? Kenapa?” Wijaya teringat Renjana, ya cuma ada satu nama itu di ingatannya, renjana teman smanya dulu, renjana yang ingin sekali wijaya bawa ke gunung untuk melihat matahari terbit dari sudut berbeda.
Renjana “Iya Alaska, ini aku, kenapa ? memangnya kenapa?” Hatinya tertegun, kenapa? Kenapa dengan apanya? Apa dia masih mengingatku secara utuh.
Wijaya “ Tidak apa-apa, sini duduk” Mulutnya enggan mengutarakan kembali masa lalu itu, ia hanya berusaha tersenyum setulus matahari menyinari bumi dan seisinya.