Oleh: Anggalih Bayu Muh Kamim
Tasbih mencencang tangan kanannya. Mulutnya komat-kamit menyebut bacaan istighfar berkali-kali. Dia berusaha menenangkan kalbunya. Secangkir kopi dan pisang goreng hangat di meja tamu menemani paginya. Pak Buat terbayang dalam angan-angannya mengenai pemilihan kuwu yang telah berlalu. Dia masih belum bisa menerima kekalahan telaknya. Dia merasa telah sudah berbuat banyak sebagai bayan di dusun Galarama. Dia bertanya-tanya apakah yang dilakukannya untuk para kawula dusun belum cukup? Dia sampai hati menduga-duga para kawula tidak menghargai jerih payahnya. Keringat yang bercucuran dan pemikiran nan cemerlang dalam mendorong kemashlahatan bersama apakah belum cukup untuk memunculkan kesetiaan antara kawula dengan junjungannya? Setiap keluar prasangka dan pertanyaan-pertanyaan seperti itu di dalam sanubarinya pasti Pak Buat menjadi mengelus dada. Pak Buat selalu berusaha menenangkan gejolak nuraninya, apabila telah meledak-ledak.
Paginya selalu diisi dengan mematung di kursi tamu. Pak Buat masih belum bisa berpaling dari kekandasannya dalam adu kekuatan pemilihan kuwu setahun yang lalu. Istrinya cukup khawatir dengan kebiasaan suaminya setahun terakhir ini. Istrinya ingin mengingatkan suaminya untuk tidak terlalu membebani pikirannya. Istrinya selalu mengingatkan bahwa dia masih menjabat sebagai bayan dan harus menuntaskan amanahnya dengan sebaik-baiknya. Pak Buat sayangnya tetap saja belum bisa melepaskan kehampaan sanubarinya. Pak Buat merasa tugas yang dijalankannya selama ini telah sia-sia. Pak Buat merasa sikap istiqomahnya belum membuahkan hasil. Dua kali sudah dia bersaing dalam pemilihan dengan kuwu yang menjabat sekarang.
Pak Buat pada pertarungan pertamanya harus mau menerima kekalahan telak dari kuwu petahana waktu itu. Kekalahan pertama masih bisa diterima dengan lapang dada, tapi kekandasannya yang kedua benar-benar telah menempatkan Pak Buat dalam kondisi terpuruk. Duduk termenung sembari ngopi di pagi hari menjadi caranya bersemedi sebelum berangkat kerja ke kantor kalurahan. Dia ingin meredakan gejolak hatinya dulu sebelum bertemu dengan atasannya yang juga mantan seterunya. Dia berusaha menjaga jiwanya tidak meronta saat bertemu dengan para penggede yang lain. Dia tidak ingin merusak citranya sebagai penggede yang lembah manah dan bisa menjaga sikap. Dia juga berusaha tidak merusak adat Jawa yang melarang mengumbar-umbar permasalahan di muka umum. Dia masih meyakini penyelesaian masalah melalui pertemuan belakang layar, tapi untuk persoalan kekalahan dalam pemilihan dia masih belum bisa legowo.
Bacaan istighfar menjadi cara bagi Pak Buat untuk menenangkan dirinya. Pak Buat berusaha selalu bertanya pada Gusti Pangeran mengenai bagaimana cara keluar dari gejolak hatinya. Pak Buat sebenarnya ingin sekali berusaha menerima kenyataan yang dihadapinya. Dia ingin memulai komunikasi dengan kuwu yang sekarang, tetapi belum kesampaian. Pak Buat masih terjerat dengan masa lalu yang belum bisa dilepaskannya. Pak Buat terus mencari-cari dan menimbang-nimbang bagaimana caranya melakukan islah dengan kuwu yang sekarang. Pak Buat sama sekali tidak ingin memutuskan tali silaturahmi dengan Pak Kuwu. Pak Buat ingin segera bersama-sama dengan Pak Kuwu bersinergi membangun kampung, namun bagaimana lagi kekalutan yang menerpa membuat semuanya hanya berhenti pada sekadar angan-angan. Memang niat baik sudah dapat dipandang sebagai hal terpuji, tetapi tanpa sebuah tindakan masalah tidak akan lantas terselesaikan.
Persoalan bertambah pelik disebabkan Pak Kuwu sendiri enggan menyambung silaturahmi dengan Pak Buat. Padahal, Pak Buat adalah salah satu bayan di desanya. Pak Kuwu bersikap acuh tak acuh dengan kegundahan hati Pak Buat. Pak Kuwu bahkan sama sekali tidak menyadari ada kerenggangan hubungan di antara keduanya. Pak Kuwu justru tetap mempertahankan persaingan di antara keduanya, meskipun pemilihan telah lama berlalu. Pak Kuwu selalu menduga-duga kalau Pak Buat akan menjadi saingannya kembali pada pemilihan periode selanjutnya. Perang urat syaraf tak terindahkan di antara keduanya.
Perang dingin merambah sampai ke kantor kalurahan. Pak Kuwu mengkondisikan kamituwo, jagabaya, carik, ulu-ulu, pamong desa dan bayan dusun lainnya untuk tidak terlalu membangun hubungan dekat dengan Pak Buat. Emban Cindhe Emban Ciladan. Pak Kuwu bahkan hanya memprioritaskan pembangunan infrastruktur memadai di wilayah dusun para penggede pendukungnya. Wilayah dusun Galarama tempat Pak Buat menjabat sebagai bayan tidak tersentuh pembangunan. Padahal, Pak Kuwu pada pemilihan yang lalu berjanji akan memperbaiki akses jalan di dusun Galarama. Kekalahan jumlah suara di dusun Galarama lah yang membuat Pak Kuwu enggan memperbaiki infrastruktur wilayah tersebut. Pak Kuwu merasa sakit hati ternyata kata-kata manisnya tidak mampu merayu warga dusun Galarama untuk memilih dia. Baru setelah munculnya gegeran di kantor kalurahan, Pak Kuwu memerintahkan anak buahnya untuk menyegerakan pembangunan jalan dusun Galarama.
Pak Buat tidak dapat berbuat banyak untuk mendorong pembangunan jalan dusun Galarama. Dia sendiri masih terjebak dalam kekalutan hatinya. Dia tidak mau turun tangan untuk menyelesaikan persoalan, karena merasa dikhianati oleh warga dusun Galarama. Pak Buat tidak mau mensyukuri bahwa sebenarnya dia menang telak dalam hal jumlah suara di dusun yang dipimpinnya. Kekalahan Pak Buat pada pemilihan yang telah lalu terjadi disebabkan permainan dari para penggede desa yang menyokong pemenangan Pak Kuwu. Para penggede desa telah dijanjikan berbagai keuntungan dan berbagai pundi-pundi dari kuwu yang sekarang menjabat. Salah satu sumber pundi-pundi yang dibagikan kepada penggede desa adalah cuan dari pengelembungan anggaran proyek pembangunan jalan dusun Galarama.
Saat para penggede desa mengadakan hajatan pun Pak Buat tak pernah diundang. Pak Buat benar-benar telah dikucilkan dari lingkaran penggede desa. Bu Rina, istri Pak Buat ingin tetap berusaha menyempatkan hadir ke hajatan para penggede desa. Bu Rina mengandalkan kabar angin untuk mendapatkan informasi mengenai hajatan yang dibuat oleh penggede desa. Bu Rina tidak ingin memutuskan tali silaturahmi dengan para penggede desa lainnya. Hubungan Bu Rina dengan istri para penggede desa sebenarnya tetap baik. Para istri penggede desa tetap bekerjasama dan harmonis dalam setiap kegiatan seperti senam pagi dan PKK. Perang dingin hanya terjadi di antara para suami.
Kebetulan Pak Kuwu akan mengelar hajatan pernikahan putranya dengan putri Pak Carik pada hari itu. Pak Kuwu kembali tidak mengundang Pak Buat dalam pagelaran perjodohan anaknya. Inisiatif juga sama sekali tidak muncul dari Pak Carik untuk mengundang Pak Buat dalam hajatan putrinya. Bu Rina sangat ingin sekali hadir pada pagelaran perjodohan anak Pak Kuwu dan Pak Carik. Istri Pak Carik lah yang meminta keluarga Pak Buat untuk turut hadir. Istri Pak Carik tidak memberitahu suaminya terlebih dahulu, kalau dia mengundang keluarga Pak Buat. Istri Pak Carik menginginkan pagelaran perjodohan putrinya menjadi momentum menyambung tali silaturahmi para penggede desa.
Para istri penggede desa sudah sejak lama sebenarnya merencanakan islah bagi para suami. Para istri melalui rasan-rasan berupaya sekuat tenaga mencari momentum yang tepat untuk menyatukan penggede desa. Para istri penggede desa sudah lama risih dengan masalah yang tak terselesaikan disebabkan persoalan tersebut sudah menjadi buah bibir warga desa. Para istri penggede desa tidak ingin suami-suaminya sebagai pemimpin mendapat cap tidak bisa menjadi teladan dalam menjaga keharmonisan dan rasa guyub rukun. Para istri penggede desa takut kabar angin yang cepat tersebar memengaruhi kepercayaan warga terhadap pemimpinnya. Para istri penggede desa tidak ingin gegeran yang terjadi di pendopo kalurahan beberapa waktu lalu kembali terulang. Kawula bisa saja berpikir bagaimana para penggede desa dapat menyelesaikan urusan penghidupan warga, kalau tidak bisa menyelesaikan permasalahan pelik di antara mereka sendiri. Pembayangan seperti itu yang ditakutkan oleh para istri penggede desa. Sayangnya, para suami sebagai pemimpin tidak menyadari kesalahan mereka dan justru terus merawat kebiasaan buruk.
Istri para penggede desa mendorong istri Bu Rina untuk membujuk suaminya, agar ingin datang ke pagelaran pernikahan anak Pak Kuwu dan Pak Carik. Bu Rina menyanggupi nasihat baik yang ditujukan kepadanya, dia tergerak untuk merayu suaminya untuk menyambung tali silaturahmi. Bu Rina sengaja mengatur siasat dan merangkai kata-kata untuk membujuk suaminya pagi itu, supaya mau hadir ke acara pernikahan anak Pak Kuwu. Saat Pak Buat tengah mematung seperti biasa di kursi tamu, istrinya tiba-tiba datang dan duduk untuk mengatakan sesuatu yang penting.