Karya: Aldaninda Raya Mahrunisa
“Horeee…Libur telah tiba, libur telah tiba, hatiku gembira…,” aku menyanyi kegirangan karena ujian semester 2 telah selesai, setelah itu aku berlari kecil ke arah Ayahku yang sedang menanam sawi untuk makanan burung di halaman rumah. Bunga, Adikku mengikutiku berlari di belakangku.
“Aayaah…,” panggilku manja.
“Liburan sekolah kita ke mana, yah?” tanyaku dengan bersemangat.
“Hmm, anak-anak Ayah ini maunya ke mana?” Ayah berbalik bertanya.
“Aku pingin ke rumah Mbah Tung, yah, udah lama nggak ke sana,” Lalu Bunga menyahut lembut “Aku juga mau ikut ke rumah Mbah Tung!”
“Oke, besok sabtu ya, kita ke sana, karena tunggu ibu libur,” kata Ayah.
“Horeee!” aku dan Bunga bersorak gembira.
***
Hari sabtu yang ditunggu akhirnya datang juga. Ibu, Ayah, aku, dan Bunga bersiap-siap berangkat ke rumah bah tung. Mbah Tung adalah panggilan kami untuk kakek, karena waktu kecil aku belum bisa mengatakan “Mbah Kakung,” makannya aku panggilnya mbah tung, dan itu berlaku hingga sekarang. Sedangkan panggilan untuk mbah putri ialah “Mbah Uti.”
Mbah Tung bertempat tinggal di sebuah desa ujung Barat Kabupaten Banjarnegara. Perjalanan ke rumah Mbah Tung kurang lebih satu jam. Agar tidak bosan, sepanjang jalan kita bernyanyi bergembira, tak terasa kita sudah sampai.
“Assalamu’alaikum…,” begitu sampai aku langsung berlari mencari Mbah Tung, Mbah Uti, dan Tante Ola.
Tante Ola adalah adik Ayahku yang masih 2 SMA. Kami banyak bercerita. Dan setelah banyak bercerita dengan Tante Ola, akhirnya aku dan Bunga merasa mengantuk dan tidur siang.
“Allahu Akbar…Allahu Akbar…,” terdengar suara Mbah Tung yang sedang azan asar. Seperti biasa, kami ke masjid bersama untuk shalat berjamaah.
Selesai shalat asar, Mbah Tung mengajari anak-anak kecil mengaji. Di situlah aku berkenalan dengan anak seusiaku yang namanya Dea dan Isna. Isna lebih tua satu tahun dariku, jadi aku memanggilnya “mba Isna.”
Keesokan paginya aku dan Bunga diajak sama Tante Ola ke rumah Dea. Sesampainya di rumah Dea ternyata mba Isna juga ada di sana, mereka sedang bermain jual-jualan. Wah, itu mainan kesukaanku dan Bunga.
“Assalamu’alaikum…,” sapaku dan Bunga. “Wa’alaikumus salam,” jawab mereka. Lalu kami bermain bersama, aku dan Bunga jadi pembelinya. Seruuu banget! Tiba-tiba…
“Hei, kalian mau nggak main di sawah?” ajak mba Isna.
“Mau apa?” tanya Dea.
“Kita cari siput yuk,” jawab mba Isna.
“Tapiii…apa boleh Raya dan Bunga main ke sawah?” tanya Dea agak ragu.
“Mmm Ayo!” Jawabku semangat.
Bermain ke sawah pasti sangat menyenangkan karena aku belum pernah. Tapi, sebelumnya aku meminta ijin ke Tante Ola. Kemudian kami berjalan menuju sawah yang tidak jauh dari rumah Mbah Tung. Kami berjalan beriringan di pematang sawah dengan hati-hati sekali karena takut.
“Itu ada siput!” teriak Dea. Mba Isna dan Dea langsung memunguti siput-siput sawah itu. Sedangkan aku dan Bunga tidak berani masuk ke lumpur karena takut ada ularnya.
“Ayo sini, ambil siput-siputnya.” Ajak mba Isna dan Dea kepadaku dan Bunga.
Aku dan bunga agak ragu untuk masuk ke dalam lumpur. Tiba-tiba tante Ola malah menyuruh kami untuk masuk ke dalam lumpur. “Nggak papa masuk aja, seru kok. Aman nggak ada ularnya.”
Sementara Tante Ola menjaga kami di pinggiran pematang selama aku mencoba mencari-cari siput yang besar.
“Bunga! Raya! Lihat ini!” Teriak Tante Ola. Aku dan Bunga segera berlari menuju Tante Ola.
“Ini adalah telur siput,” kata Tante Ola. Bentuknya lucu seperti buah anggur yang masih di pohon, warnanya pink. Aku pernah melihatnya di TV, tapi sekarang aku bisa melihat secara langsung.
Setelah cukup banyak, kami pun segera pulang menuju rumahnya Dea. “Nanti kita masak ya siputnya, aku akan meminta Ibuku untuk memasaknya,” kata Dea.
“Hah…dimasak?” tanyaku kaget.
“Iya, rasanya enak hlo…, nanti kamu coba aja kalau nggak percaya,” jawab mba Isna.
Setelah menunggu cukup lama, Ibunya Dea memanggil kami kalau siputnya sudah masak. Dea dan mba Isna dengan semangat langsung mengambil dan melahapnya. Sementara aku dan Bunga kebingungan bagaimana cara memakannya. Tante Ola membantu mengeluarkan daging siput dari cangkangnya. Awalnya aku agak jijik untuk memakannya, tetapi Dea dan mba Isna memaksaku untuk mencobanya.
“Ayo coba…rasanya mak nyus,” Dea dan mba Isna menirukan seperti acara di TV. Kami pun jadi tertawa.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mencobanya, memang rasanya agak aneh, dan kenyal seperti karet, tapi lama-lama lidahku menjadi terbiasa dan memang enak. Sedangkan adikku Bunga tetap tidak mau mencicipinya.
Setelah selesai mencicipi masakan siputnya, kami pun pulang. Sesampainya di rumah Mbah Tung aku bercerita bahwa kami habis mencari siput sawah dan memasaknya di rumah Dea. Sebenarnya Mbah Tung hampir memarahi kami, tapi karena kami ke sawah dengan Tante Ola yang menjaga, maka tidak jadi marah. Malah Mbah Tung bercerita bahwa kalau siput sawah sebenarnya bisa dijadikan obat.
Wah…Liburan kali ini memang sangat luar biasa. Dea dan mba Isna sangat seru! (*)
Biodata
Aldaninda Raya Mahrunisa, Siswi kelas 5 “Yahya” di SD MUH1B4 Banjarnegara. Beralamat di Gunungjati, Pagedongan, Banjarnegara.
aku hanun, ceritanya bagus banget 🙂 semoga aku bisa kaya mba Raya bikin cerpen