Karya: Nadya Senna Nouriensya Zahran
Seperti hari-hari sebelumnya, Putri dan Ibunya Bu Tini selalu disibukkan dengan rutinitas pagi membuat kue-kue basah. Kue-kue ini nantinya dititipkan ke warung-warung dekat rumah. Ada kue pukis, nagasari, bolu kukus, lapis, dan martabak mini. Bu Tini selalu bangun jam 3 dini hari untuk memulai membuat kue.
Sepuluh tahun yang lalu, semenjak Ayah putri Pak Rahmat meninggal karena kecelakaan, Bu Tini harus banting tulang bekerja menghidupi kedua anaknya, Putri dan Dimas. Bu Tini tampak kenal lelah berjualan kue-kue basah keliling kampung. Semua demi masa depan Putri dan Dimas agar mereka tetap terus bersekolah. Saat ini Dimas sudah kelas 2 SMP, dan Putri kelas 6 SD. Mereka berdua tumbuh menjadi anakanak yang berbakti. Mereka selalu siap membantu Ibunya setiap hari.
Pagi ini, Putri berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya karena Ia menjadi petugas upacara di sekolah. Putri berangkat dengan berjalan kaki karena jarak sekolah dari rumahnya tidak terlalu jauh, sekitar 1 kilometer. Sedangkan Dimas menyempatkan membantu Ibunya mengantar kue-kue ke warung-warung sebelum Ia berangkat sekolah.
Bu Tini melihat Putra dan Putrinya tumbuh menjadi anak yang berbhakti menjadi terharu. Tidak terasa air mata menetes, Bu Tini teringat mendiang suaminya.
“Aku tidak boleh sedih, aku harus selalu kuat,” Gumam bu Tini.
Setelah anak-anaknya berangkat ke sekolah, Bu Tini pergi keliling kampung untuk menjajakan kue-kue buatannya. Dengan sepeda lamanya, Bu Tini berkeliling dari kampung ke kampung sambil berteriak, “kue…kue…kue…kue…!” kue buatan Bu Tini memang enak, sehingga banyak pelanggan yang sudah menunggu untuk membeli.
“Alhamdulillah, hari ini semua kue terjual habis,” ucap syukur Bu Tini. Ia segera pulang ke rumah untuk menyiapkan makanan karena sebentar lagi anak-anaknya pulang sekolah. Sesampainya di rumah, Ia langsung memasak sayur sop, tempe bacem, dan sambal terasi menjadi menu hari ini.
“Assalamu’alaikum,” terdengar salam dari luar.
“Wa’alaikumus salam, putri udah pulang ya nak,” jawab bu Tini. Putri segera berganti baju dan membantu Ibunya di dapur.
“Ibu, nanti kalau sudah punya uang, boleh tidak Putri dibeliin sepatu baru?” tanya Putri kepada Ibunya dengan nada pelan.
“Memang sepatu Putri sudah rusak?”
“Bolong kayak gini bu,” jawab Putri sambil memperlihatkan sepatunya yang rusak.
“Sekarang putri makan dulu ya,” jawab Ibu sambil tersenyum.
Selesainya dari meja makan, Putri kembali ke kamarnya untuk mengerjakan PR. Sementara Bu Tini duduk di ruang tamu sambil membawa celengan berbentuk ayam.
“Bismillah, semoga uang dalam celengan ini cukup untuk membeli sepatu baru untuk Putri,” ucap Bu Tini. Ia membongkar celengan tersebut dan menghitung uang yang ada di dalamnya. Ada banyak uang pecahan lima ratus rupiah dan beberapa lembar uang kertas.
“Alhamdulillah ada Rp. 524.500, cukup untuk membeli sepatu,” gumamnya. Tak selang berapa lama, Dimas pulang dari sekolah.
“Assalamu’alaikum,” suaranya terdengar.
“Wa’alaikumus salam,” jawab Bu Tini membuka pintu. Dimas sedikit kaget dan bertanya kepada Ibunya.
“Ibu kenapa bongkar-bongkar celengan?”
“Oh, ini putri sepatunya rusak, Ibu ingin belikan sepatu untuk Putri,” jawab Bu Tini menjelaskan. “Ganti baju terus makan dulu mas, nanti temenin Ibu ya ke toko sepatu,” lanjutnya. Dimas segera masuk kamar dan ganti baju, lalu bersiap untuk makan.
Bu Tini masuk ke kamar Putri, Ia melihat putrinya tertidur pulas sambil memegang buku di kasur. Sebenarnya Bu Tini akan mengajak Putri, tapi tidak tega membangunkannya. Akhirnya Bu Tini dan Dimas pergi ke toko hanya berdua. Di toko sepatu, mereka berkeliling mencari sepatu yang sekiranya Putri suka.
“Yang ini saja bu!” ucap Dimas menawarkan.
“Wah, iya ini bagus,” jawab Bu Tini sambil melihat harga sepatu itu. Wajahnya berubah sedih karena uangnya tidak cukup.
“Nanti kurangnya pakai uang Dimas aja bu,” Dimas menghibur Ibunya.
“Memangnya kamu punya uang?”
“Punya dong bu, Dimas tabung dari hasil bantuin Ibu jualan, juga sebagian uang saku sekolah Dimas.”
“Memangnya tidak apa-apa untuk membeli sepatunya Putri?” tanya Bu Tini.
“Tidak apa-apa bu, Dimas belum membutuhkannya,” jawab Dimas tersenyum. Kemudian mereka membawa sepatu itu ke kasir.
“Alhamdulillah, Putri punya sepatu baru, semoga lebih semangat lagi sekolahnya,” batin Bu Tini.
Sesampainya di rumah, Putri sudah bangun dan sedang mencuci piring.
“Ibu dan mas Dimas dari mana saja si?” tanya Putri dengan nada sedikit kesal. “Bangun tidur siang rumah sepi nggak ada orang,” ketus putri melanjutkan.
“Duh, yang ngambek nggak diajak pergi,” ledek mas Dimas sambil mengusap kepala adiknya itu.
“Sini, Putri duduk dulu sama Ibu,” pinta Bu Tini. Lalu Bu Tini membuka semuah bingkisan di depan Putri.
“Ini apa bu?” tanya Putri.
“Coba kamu buka aja sendiri,” jawab Bu Tini. Dengan perlahan, Putri membuka bingkisan tersebut. Putri kaget karena ternyata isinya sepatu yang selama ini Ia impikan.
“Ini untuk Putri bu?” tanya Putri yang masih tidak percaya.
“Iya, Putri suka? Ini mas Dimas lo yang milihin.”
“Ya jelas suka bu, pilihan mas Dimas nggak pernah salah,” sahut mas Dimas sambil mencubit pipi adiknya. Putri sangat senang karena punya sepatu baru.
“Terima kasih ya bu, mas,” ucap Putri sambil memeluk Ibunya.
“Makasih ya mas Dimas,” ucap Putri yang manja juga memeluk kakaknya.
“Iya, iya, apa si yang nggak buat adik tercinta,” ledek mas Dimas lagi.
Meski hidup tanpa seorang Ayah, mereka selalu berusaha saling melengkapi dan membahagiakan satu sama lain.
“Ibu sayang sekali sama kalian,” ucap Bu Tini sambil memeluk Putri dan Dimas.
“Putri dan mas Dimas akan selalu berusaha jadi anak yang bisa Ibu banggakan” kata Dimas yang diikuti anggukan Putri. (*)
Banjarnegara, 12 Agustus 2023
Nadya Senna Nouriensya Zahran, siswi kelas 6 di SD Muhammadiyah 1 Banjarnegara. Lahir di Banjarnegara, 22 Desember 2011. Tinggal di Gading, Banjarnegara Kota. Hobi membaca, dan bercita-cita menjadi Dokter.