Oleh: Tikwan Raya Siregar
Harga minyak goreng naik, adalah karena sudah gilirannya para petani kelapa sawit mendapat imbalan yang layak. Mereka tinggal di kampung-kampung, sepi dari perhatian dunia, dan selalu menanggung biaya pupuk yang semakin mahal, serta biaya yang tinggi karena buruknya infrastruktur. Orang-orang kota yang konsumtif dan tidak pernah menanam satu pokok pun kelapa sawit tidak bisa selamanya manja, dan selamanya memetik kemudahan-kemudahan dengan meminum keringat buruh perkebunan yang menetes dari setiap tandan kelapa sawit yang mereka panen. Maka, rasakanlah!
Harga minyak goreng harus naik, karena rakyat sudah terlalu lama dididik untuk menjadi budak-budak tanam paksa melalui otoritas pasar yang dikendalikan sistem keuangan dunia, sehingga mereka lebih suka mengejar uang asing dan uang bank sentral ketimbang memproduksi dan mencukupi kebutuhannya sendiri.
Bahan baku melimpah di sekeliling mereka, tetapi mereka tidak berhasil membuatnya menjadi sekadar minyak goreng untuk keperluan dapurnya tanpa melalui proses panjang sebagai berikut: menjual kelapa sawit ke toke pengumpul, kemudian pengumpul membawa ke toke besar, toke besar menjual ke pabrik kelapa sawit, pabrik kelapa sawit mengolah buah menjadi CPO, lalu pabrik turunan CPO mengubahnya menjadi minyak goreng, seterusnya dijual ke distribusor besar, dialirkan ke distributor kecil, ke kedai ritel, dan barulah omak-omak memburunya di sana dengan menanggung beban atas seluruh siklus yang sangat berat dan panjang itu.
Berapa lapis pajak yang harus mereka tanggung pada setiap liternya? Berapa nilai tambah yang harus mereka setor kepada tiap pelaku usaha itu? Maka rasakanlah!
Kini, minyak goreng adalah cara paling mudah untuk memasak berbagai keperluan dapur secara cepat dan efektif. Awalnya memasak dengan minyak goreng hanya satu cara alternatif untuk mengolah makanan. Orang-orang kampung bisa membuat minyak goreng sendiri dari kelapa, dan cukup dua botol untuk beberapa bulan. Sebab mereka juga memasak dengan cara dipanggang, direbus, digulai, dituktuk, digonyoh, dikukus, dan berbagai cara lainnya.
Tapi sekarang orang-orang telah kehilangan waktu, “time is money”, sehingga cara paling mudah untuk mengolah makanan adalah dengan minyak goreng. Mereka mengikuti tradisi fast food seperti KFC, McD, dan kebiasaan orang-orang barat yang memang sangat tergantung pada persediaan lemak nabati, terutama untuk menghadapi musim dingin. Kehidupan yang terburu-buru karena mengejar uang, dan introduksi tradisi asing dalam pengolahan makanan, telah membuat bangsa ini tergantung pada satu jenis produk yang tidak mereka mampu untuk membuatnya sendiri.
Para cukong pun, seperti biasa, turut bermain di belakang promosi hidup bersama minyak goreng. Hidup instan. Makan instan. Minyak goreng adalah kebudayaan maju. Berpikirlah jernih seperti kejernihan minyak goreng anu. Maka rasakanlah!
Teknologi pertanian masih menjadi cita-cita bagi sebagian besar bangsa kita. Teknologi ini telah dimaknai sebagai teknologi pemupukan, teknologi perbenihan, teknologi pengairan, teknologi perawatan (pestisida dan herbisida), teknologi pengolahan, yang seluruhnya adalah dalam otoritas dan kendali korporasi dan regulasi.
Tiba-tiba pertanian telah diurus negara dan orang-orang yang memakai dasi. Para petani yang berkotor-kotor telah lumpuh dan hanya memegang peran sebagai tenaga kerja. Sedangkan hasilnya untuk seluruh pengendali teknologi itu.
Semua teknologi sederhana tepat guna yang pernah dikuasai leluhur para petani secara mandiri dan berdaulat tiba-tiba hilang dengan cara ajaib. Mereka lupa teknik membuat minyak goreng dan menanam apa yang mereka perlukan untuk membuat itu. Tapi mereka hapal sekali menghitung uang dan semakin kuat bertahan dengan berbagai kerugian dan penderitaan yang harus mereka tanggung, demi uang. Maka rasakanlah!
Atas semua balada minyak goreng ini, kita memberikan applaus dan ucapan selamat kepada para pemilik korporasi, distributor, pedagang, dan para politisi. Semoga rezeki mereka bertambah-tambah, sehingga semakin mampu mendirikan perusahaan-perusahaan baru, supaya makin banyak juga rakyat yang dapat dijadikan buruh sebagaimana yang mereka cita-citakan sejak di sekolah hingga perguruan tinggi. Dan supaya semakin banyak wajib pajak yang dapat ditarik dari para buruh itu demi memenuhi gaya hidup birokrasi dan politisi.
Kita menyaksikan sajalah sambil sesekali menghisap cerutu biar nggak kelihatan susah. (*)
Artikel ini dikonversi dari sebuah tulisan di laman facebook Tikwan Raya Siregar.
Baca juga: