Oleh: Tikwan Raya Siregar
Pembangunan yang baik bukanlah menyediakan perumahan untuk rakyat. Tetapi membuat rakyat mampu menyediakan rumah untuk dirinya sendiri.
Rumah-rumah adat adalah warisan yang sangat bernilai bagi kita. Ia menunjukkan jejak yang nyata bagaimana rumah itu dibangun dengan sumber daya yang ada di sekelilingnya, dan bekerjanya pengorganisasian sosial untuk mewujudkannya. Bentuknya adalah penzahiran dari pikiran masyarakat, berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan sifat-sifat lingkungannya. Sehingga ia memiliki variasi kultural, sekaligus menjadi identitas.
Rumah adat perlu menjadi pertimbangan ideal perumahan dalam pembangunan. Namun untuk menghidupkannya kembali, maka diperlukan restorasi lingkungan, revitalisasi sumber daya sosial, dan pendidikan holistik tentang kebudayaan tertentu yang menjadi cara pandang anggotanya terhadap diri dan kehidupan luarnya.
Rumah adalah cara orang untuk berlindung dari cuaca dan keadaan sekitarnya. Setiap iklim melahirkan rumah yang adaptif terhadapnya. Setiap kontur melahirkan teknologi budaya yang membuatnya aman. Setiap tantangan alam membawa respon yang khas terhadap tantangan itu sehingga rumah adalah produk pilihan, dan tidak seharusnya dipandang sebagai lambang kemajuan atau kekolotan.
Rumah adalah pengetahuan budaya yang teratur dan berdisiplin, yang setiap sudut dan lekuknya dapat dijelaskan dengan suatu alasan yang fungsional. Kekacauan perumahan dan lingkungan menjadi penanda kekacauan pikiran. Rumah-rumah kota yang acak kadut, atau tidak jelas orientasi dan temanya, menjelaskan kepada kita hilangnya pengetahuan bersama dalam kemasyarakatan. Karena sungguh tidak masuk akal, di daerah tropis yang lembab, orang-orang membangun rumah-rumah bergaya Yunani, Spanyol, atau gedung-gedung komersil yang entah dari mana ide-idenya.
Berat, penuh beban, dan asing, demikianlah gedung-gedung itu membuat kita lupa pada diri kita sendiri. Sebuah kota telah lupa diri…(*)
Tulisan ini dikonversi dari sebuah status di akun Facebook Tikwan Raya Siregar