Oleh: Tikwan Raya Siregar
Di pertengahan November 2010 lalu, Dr (phil) Ichwan Azhari, MS, merilis sebuah hasil penelitiannya mengenai sejarah nama Batak sebagai sebuah etnik. Cukup mengejutkan bagi banyak orang, bahwa ”Batak” sebagai nama etnik (suku) ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri, ”tapi diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke Tanah Batak sejak tahun 1860-an”.
Dr Ichwan adalah dosen pembimbing saya, akademisi cemerlang yang senang mengganggu ”nisan-nisan” kuburan penulisan sejarah yang dianggap mapan, dan oleh karena itu ia menjadi sejarahwan yang dikenal segar dan kaya dengan kejutan. Kebetulan, dalam proses penelitiannya selama dua bulan di Jerman dan Belanda, saya sempat tersenggol pekerjaannya sedikit, terutama ketika mengunjunginya di Wuppertal, Jerman, ketika beliau membongkari arsip-arsip VEM (dulu RMG, institusi di mana Nommensen bernaung). Ia menyewa sebuah kamar asrama VEM di kota kecil yang indah itu, dan menjalankan penelitiannya dengan tekun.
Dalam sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak), Dr Ichwan menyatakan tidak ditemukan kata ”Batak” untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik. Dengan demikian ia menarik kesimpulan bahwa nama ”Batak” tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak, melainkan sesuatu yang diciptakan dan dikonstruksi dari luar. Kemudian ia menarik sebuah kesimpulan, bahwa kata itu telah berkembang pertamakali di tengah masyarakat pesisir (Melayu) yang mengeksonami orang pegunungan yang dianggap liar dan berbeda dari mereka. Para orientalis, kolonialis dan para misionaris yang datang dari barat dengan singgah lebih dulu di masyarakat pesisir lantas mengadopsi sebutan itu meski secara ragu-ragu serta mengonstruksinya dalam karya-karya ilmiah maupun laporan-laporan mereka.
Selain meneliti ratusan ribu lembar arsip misionaris Jerman di Wuppertal, Ichwan juga melengkapi datanya ke arsip KITLV di Belanda, mewawancari sejumlah pakar ahli Batak, baik di Belanda maupun Jerman, seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner.
Kata ”Batak”, menurut temuan Ichwan, secara etimologis berasal dari kata ”bata”. Kata ini berkonotasi negatif, bahkan cenderung menghina untuk menyebut penduduk pegunungan itu sebagai kurang beradab, liar, dan tinggal di hutan. Pada manuskrip abad 17 koleksi Leiden, juga ditemukan kata ”Batak” di kalangan orang Melayu di Malaysia, sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Masih ada sejumlah fakta lain yang ia sebutkan untuk memperkuat hasil penelitiannya tersebut, termasuk penelitian peta-peta kuno, keragu-raguan para misionaris terhadap penggunaan kata Batak dan fakta-fakta arsip lainnya.
Sebenarnya, ada juga tema sensitif lain yang belum dirilis Dr Ichwan karena merasa belum begitu kuat buktinya, yaitu kemungkinan bahwa istilah kekerabatan Dalihan Na Tolu sebagai konstruksi para sarjana Jerman juga. Wallahu alam.