TAJDID.ID || Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru terkait harga minyak goreng, yakni mencabut peraturan menteri yang mengatur soal Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sebesar Rp 14.000 per liter. Artinya, pemerintah akan melepas harga minyak goreng kemasan sesuai dengan harga keekonomian atau sesuai mekanisme pasar.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia( Alpha), Azmi Syahputra mengatakan, kebijakan melepas harga minyak goreng sesuai mekanisme pasar justru menegaskan bahwa Menteri Perdagangan telah gagal total, dipermalukan sekelompok pemilik modal.
“Sungguh mengecewakan. Menteri yang punya tupoksi sebagai penyelenggara negara untuk menangani urusan perdagangan dan pengamanan perdagangan dalam negeri menunjukkan ketidakmampuannya,” ujar Azmi yang merupakan Aktivis 98 dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, Kamis (17/3/2022).
“Termasuk pula dalam hal mengeluarkan kebijakan satu harga serta tindakan faktualnya tidak digubris oleh pengusaha, kebijakannya tidak dapat dioperasionalkan, malah jadi ‘jebakan sendiri’. Itu sangat memalukan.” imbuhnya.
Alumni Fakultas Hukum UMSU ini menilai janji pemerintah berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dengan harga terjangkau tidak tercapai, dimana faktanya minyak goreng tetap langka.
Dan anehnya, lanjut Azmi, pada akhirnya harganya naik dari HET Rp.14.000/kg kini mencapai Rp.25.000, malah untuk minyak kemasan pemerintah mencabut aturan HET dan menyerahkan harga melalui mekanisme pasar, yang dampaknya dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Menurut Azmi, dalam kasus kelangkaan minyak goreng ini reputasi dan kekuasaan pemerintah telah dipermalukan dan kalah telak.
“Ini kan jadi dagelan, begitu pemerintah mau menyepakati harga minyak goreng naik, seketika penuh minyak goreng di rak supermarket dan beberapa toko, maupun pasar. Berarti dugaan kartel ada di sini, buktinya pemerintah tidak berdaya mengurus pengendalian minyak goreng,” sebut Azmi.
Ketidakbecusan pemerintah dalam mengawal kebutuhan dasar masyarakat dan tidak punya ketegasan terhadap forced commerce yang merupakan manifestasi kekuasaan pasar yang dimiliki kelompok pengusaha tertentu, menurut Azmi hal itu dapat menunjukkan adanya resistensi dari kelompok pengusaha tertentu yang mengarah ke kartel.
“Dapat dimaknai pemerintah ‘diserang’ kelompok pengusaha, yang tipologi kekuasaannya biasanya bercirikan berupa ancaman, pemaksaan , manipulasi , otoritas dan kepemimpinan paksa, termasuk hasrat berkuasa, sehingga menggangu jalannya fungsi pemerintah termasuk dalam kasus ini kebutuhan rakyat sudah terhambat,” kata Azmi.
“Ini sudah kelewatan. Kedepan siap-siap saja akan ada ‘harga suka suka’ yang dibuat kelompok pengusaha tertentu, dan dampaknya ekonomi rakyat dalam bahaya serta posisi rakyat akan semakin tertekan. Terus dimana jargon atau slogan ‘pemerintah tidak boleh kalah’ yang sering digembar-gemborkan itu!?” tambah Azmi.
Karenanya, kata Azmi, pemerintah harus berani dan punya posisi tawar yang kokoh dan tegas.
“Karena kalau tidak tegas kedepannya justru dapat menimbulkan potensi kepanikan, termasuk kekacauan masyarakat terhadap kebutuhan pangan lainnya. Pola seperti ini bisa dijadikan modus selanjutnya oleh kelompok pengusaha tertentu untuk menaikan harga kebutuhan pokok lainnya,” pungkas Azmi. (MRS)