Oleh: Mujahiddin
Beberapa waktu lalu, saya menulis di tajdid.id satu artikel berjudul Buya Hamka dan Moral Intelektual. Artikel tersebut pada dasarnya berupaya untuk melihat bentuk urgensi dari moral-intelektual yang merupakan bagian penting dari proses intelektualisme seseorang yang pada artikel tersebut digambarkan melalui sosok ulama karismatik bernama Hamka. Jika kita mengacu pada banyak tokoh intelektual muslim atau ulama-ulama besar Islam terdahulu, maka kita akan melihat keteguhan mereka dalam mencari ilmu pengetahuan dan menghasilkan karya-karya; yang pada saat ini dapat dikatagorikan sebagai karya yang monumental.
Tentu Hamka satu diantara beberapa tokoh tersebut, yang ditengah keterbatasan (baca; di dalam penjara) mampu menghasilkan satu karya monumental berupa tafsir Al-Qur’an yang diberi nama Tafsir Al-Azhar. Selain Hamka, ada beberapa ulama dan intelektual Muslim lainnya yang mampu menghasilkan karya dari dalam penjara, sebut saja misalnya Imam as-Sarakhasi yang menghasilkan kitab fiqih yang sangat lengkap dalam Mazhab Hanafi yang diberi nama Al-Mabsuth. Dalam satu sumber dikatakan bahwa karya ini tidak ditulis langsung oleh as-Sarakhasi, tetapi dilakukan dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya yang setiap waktu mengunjunginya di dalam penjara. Itu sebabnya kitab ini tidak mencantumkan catatan kepustakaan karena memang tidak merujuk pada literatur apapun dan juga pada waktu itu sumber kepustakaan belum menjadi satu hal yang lazim.
Baca juga:
Selain itu kita juga mengenal Ibnu Taimiyyah yang selama masa hidupnya mengalami dua belas kali dipenjara. Ibnu Taimiyyah tercatat banyak sekali menghasilkan kitab-kitab risalah yang ringkas dan kecil; satu karyanya yang terkenal adalah kitab Ar-Raddu ‘alā Al-Ikhnāi. Kitab ini adalah karya terakhir yang ia tulis sebelum wafat di dalam penjara. Satu tokoh lagi yang kita kenal adalah Sayyid Qutb. Selama dipenjara ia berhasil merampungkan kitab tafsir yang diberi nama Fī Dzilālil Qur’an. Tafsir ini dituliskan oleh Sayyid Qutb sebagai upayanya untuk mengingatkan kembali umat Islam agar tidak terlalu tunduk pada paham materialisme dan teknologi yang terus berkembang, yang memberikan dampak pada alfanya nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.
Begitulah mereka, orang-orang terdahulu yang begitu tekun dalam mencari ilmu pengetahuan dan menyuarakan kebenaran dalam disiplin keilmuan yang mereka miliki meski pada saat di penjara sekalipun. Jika dilihat kondisi tersebut rasa-rasanya berbeda jauh dari saat ini, di tengah perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, kita justru dihadapkan pada persoalan pragmatisme intelektual yang semakin akut. Jangankan untuk menghasilkan satu karya akademis yang monumental, untuk mencapai satu karya yang autentik –yang memiliki kebaharuan dari karya-karya sebelumnya –saja kita masih sulit. Bahkan tidak jarang kita terjebak pada persoalan teknis seperti melakukan sitasi agar tidak dituding common sense.
Regulasi dan Jebakan Teknologi
Pada awal tahun kemarin, dunia kampus dihebohkan dengan adanya laporan pemberitaan dari Harian Kompas yang berjudul; Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Ilmiah. Laporan investigasi yang dilakukan oleh Harian Kompas tersebut sontak membuat dunia kampus berang. Seolah-olah tidak menerima realitas tersebut sebagai sebuah fakta sosial yang ada dan lebih memilih untuk bersembunyi dibalik istilah “okunum”. Benar memang, jika dilihat secara parsial tidak semua kelompok akademisi melakukan hal yang sama, beberapa masih memilih untuk menjaga reputasi dan idealisme akademiknya.
Satu bentuk reputasi akademik yang dapat diamati adalah hasil penelitian. Tentunya bagi perguruan tinggi hasil penelitian ini akan dilihat dari segi jumlah penelitian yang dihasilkan pertahun, kebaharuan dari temuan penelitian dan dampak yang dihasilkan bagi masyarakat. Hal yang sama juga berlaku bagi akademisi yang ada di dalam perguruan tinggi tersebut; tidak hanya keaktifannya dalam pelaksanaan penelitian setiap tahun tetapi juga menyangkut kebaharuan dari temuan penelitian yang dilaksanakan. Jika hal ini merupakan satu gambaran ideal dari reputasi akademik -baik bagi perguruan tinggi maupun bagi kelompok akademisi di dalamnya -maka harusnya kita sudah dengan mudah menemukan karya-karya terbaik (jika tidak ingin mengkatagorikannya sebagai karya monumental) dari hasil penelitian yang diproduksi oleh perguruan tinggi.