TAJDID.ID~Medan || Tahapan pelaksanaan Pilkada serentah di Indonesia telah melawati tahap pendaftaran pasangan calon pada Kami 29 Agustus 2024 kemarin. Akademisi dari FISIP UMSU Dr. Mujahiddin S.Sos., MSP melihat tidak banyak terjadi perubahan komposisi koalisi meski sebelum tahapan pendaftaran pasangan calon terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Pilkada yang menyangkut batas umur calon dan parlementary treshold partai politik di DPRD dalam mengusung pencalonan di Pilkada.
“Ternyata tidak banyak perubahan komposisi, meski ada beberapa bakal calon kepala daerah yang gagal mendaftar setelah mendapat rekomendasi parpol. Kegagalan tersebut ada yang dikarenakan mundur secara personal, dan ada juga yang memang rekomendasinya dicabut; seperti apa yang dialami oleh Aulia Rachman Wakil Wali Kota Medan saat ini,” jelasnya, Sabtu (31/8).
Mujahiddin mengatakan, fenomena ini sudah lumrah terjadi di dunia perpolitikan Indonesia khususnya dalam konteks Pilkada. Mujahiddin mencontohkan, pada Pemilihan Gubernur Sumut (Pilgubsu) tahun 2018 lalu, Tengku Ery Nuradi gagal mendaftar karena dicabutnya dukungan Golkar dan Nasdem. Praktis waktu itu tidak ada incumbent dalam Pilgubsu 2018.
“Nah hari ini yang jelas itu terjadi di Pilwakot Kota Medan. Tidak ada incumbent. Kondisi ini menandakan bahwa perpolitikan daerah masih tetap disetir oleh pusat melalui pasangan calon yang ditetapkan. Di sini, semangat desentralisasi dan otonomi daerah bisa dikatakan hilang,” ujarnya.
Mujahiddin mengatakan, hendaknya daerah diberi ruang yang lebih luas dalam menentukan pilihan kepemimpinan politik lokalnya. Saat ini, apalagi dalam kasus pelaksanaan Pilkada serentak, dominasi pimpinan Parpol di pusat sangat terasa dan bakal calon kepala daerah yang hendak diajukan seperti ditransaksikan begitu saja. Kehendak daerah seolah diabaikan.
“Kita lihat dalam konteks bagaimana elit politik menggeser Ridwan Kamil ke Jakarta. Atau kembali lagi dalam konteks Pilwakot Medan. Jika saja, pimpinan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota diberi ruang yang maksimal dalam menentukan pemimpin di daerah, sya rasa ceritakan akan lain. Jadi, desentralisasi dan otonomi daerah yang sudah dilaksanakan pasca reformasi tidak diikuti dengan penguatan politik lokal oleh pimpinan partai politik,” tuturnya.
Mujahiddin menilai, tentu ada banyak hal yang harus dievaluasi kedepan. Khususnya dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak ini. Menurutnya, pelaksanaan Pemilu serentak dan Pilkada serentak dalam kurun waktu yang berdekatan sangat menguras energi sosial-politik masyarakat dan elit lokal.
“Jadi ingatan dan bekas dari pemilu 2024 masih terbawa ketika kita memasuki Pilkada serentak. Belum lagi, banyak elit atau aktor lokal yang enggan bertarung maju di Pilkada karena baru saja kalah di Pilleg atau sudah menang di Pilleg. Jadi tidak ada yang mau bertarung 2 kali dalam kurun waktu yang dekat. Itu mengapa fenomena kotak kosong dan koalisi gemuk banyak terjadi di Pilkada kali ini. Karena banyak aktor/elit yang menghitung ulang pembiayaan politik dengan peluang kemenangan. Jika ini dibiarkan tentu tidak sehat bagi mekanisme pemilihan kepemimpinan di tingkat lokal,” jelasnya. (*)