Oleh: Mujahiddin
Pilkada serentak tahun 2024 sudah memasuki tahapan akhir; menunggu hasil gugatan di Makamah Konstitusi dan pelantikan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak. Pada prosesnya, Pilkada 2024 ini dilaksanakan secara serentak dan berada di tahun yang sama dengan pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden. Pelaksanaan secara serentak ini yang menjadi pembedaan antara Pilkada tahun 2024 dengan Pilkada sebelumnya.
Tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemilu yang nantinya akan berkontribusi pada penguatan demokrasi di Indonesia. Setidaknya, dengan dilaksanakannya Pemilu dan Pilkada secara serentak pada periode tahun yang sama diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik di tingkat pusat dan daerah, termasuk juga penataan periodesasi kerja antar lembaga legislatif dan eksekutif di tingkat daerah (lokal) yang selama ini sering mengalami perbedaan dalam waktu periodesasi kerja.
Namun, ada hal lain di luar tujuan tersebut yang ‘mungkin’ selama ini tidak diperkirakan bakal terjadi dalam proses Pilkada kita. Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak pada priode tahun yang sama justru memperlihatkan bentuk klientelisme yang terang-terangan (baca; semakin nyata). Ada banyak studi/penelitian yang membahas pola dan bentuk dari praktik-praktik klientelisme ini. Namun untuk konteks Indonesia, karya Aspinall dan Berenschot yang berjudul “Democracy for Sale; Elections, Clientelisme, and the State in Indonesia” patut untuk dicermati. Buku ini ditulis dari hasil penelitiannya pada Pemilu tahun 2014 lalu.
Dalam penelitianya tersebut, Aspinall dan Berenschot menemukan di samua tataran (dari RT, RW sampai tingkat pusat), lembaga politik formal bekerja atas dasar personalized network through which material benefits and favors flow. Adanya ‘which material benefits’ ini menjadikan demokrasi ditransaksikan/diperjualbelikan. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki sistem yang bisa dicirikan sebagai klientelisme tak terkendali. Calakanya, praktik-praktik tersebut cenderung semakin tidak terkendali di Pilkada serentak 2024.
Daur Ulang Klientelisme
Klientelisme dapat dipahami sebagai bentuk politik klien yang mengarah pada pertukaran barang dan jasa untuk mendapatkan dukungan politik. Inti dalam politik klientelisme ini adalah quid pro quo (bahasa latin) artinya sesuatu untuk sesuatu yang lain. Bentuk klientelisme seperti ini juga biasa disebut sebagai the politics of the belly (politik perut), kerena di sini para pelaku politik hanya fokus pada satu hal: mendapatkan keuntungan material dari sistem politik yang berjalan. Meski sering sekali hanya dilekatkan dengan persoalan uang, Berenschot membagi praktik klientelisme menjadi tujuh bentuk yaitu: (1) Kontrak Kerja Pemerintah, (2) Pekerjaan Di Pemerintahan, (3) Layanan Publik, (4) Akses Ke Program Kesejahteraan Sosial, (5) Dana Bantuan Sosial, (6) Perizinan, dan (7) Uang.
Klientelisme memang bukan sesuatu yang unik yang terjadi di dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Namun di dalam sistem demokrasi, klientelisme menemukan tempatnya untuk ikut berdinamika dalam proses elektoral. Di Indonesia pertumbuhan klientelisme terjadi di antara dinamika demokratisasi dan distorsi oligarki. Mulai dari mendapatkan rekomendasi partai politik hingga pembentukan tim sukses/tim pemenangan pasangan calon di masing-masing daerah. Jika kita bisa memberikan pertanyaan yang kritis; apakah mungkin rekomendasi yang diberikan parpol terhadap pasangan calon kepala daerah tanpa adanya ‘mahar politik’? Mungkin maharnya bisa saja tidak dalam bentuk uang dan bersifat sekarang (now); tapi dalam hubungan jangka panjang yang lebih mengikat.
Banyangkan jika mahar politik itu benar adanya, maka pada Pilkada serentak 2024 ada 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota yang pasangan calon kepala daerahnya ditransaksikan (bisa juga dibaca dipertukarkan atas nama kepentingan koalisi) oleh pemiliki partai, elit politik partai dan aktor-aktor yang berkepentingan. Berapa jumlah ‘mahar’ yang beredar untuk hal tersebut? Kita tidak perlu menjawab hal tersebut dengan detail karena situasi ini sudah menjadi rahasia umum. Situasi-situasi tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Para pasangan calon juga harus mempersiapkan pembentukan tim pemenangan yang terkadang dibentuk di luar jaringan mesin partai politik di tingkat lokal. Pada tataran teknis implementatif ini kita akan melihat munculnya para broker-broker yang beroperasi di antara patron dan client tersebut; mereka adalah elit politik lokal, tokoh-tokoh lokal dan aktivis-aktivis lokal yang kemudian menggabungkan diri dalam satu wadah yang disebut tim pemenangan. Biasanya mereka yang akan menghubungkan antara paslon (sebagai patron) dengan masyarakat sebagai (client).
Pola-pola ini yang terus terdaur ulang bahkan tidak hanya sejak tahun 2014 -sebagaimana catatan dari Aspinall dan Berenschot di Pemilu 2014 -tetapi juga sudah terjadi sejak masa Orde Baru dengan model yang disebut centralized clientelism. Jika ditelisik lebih mendalam, praktik klientelisme pada Pilkada serentak tahun 2024 mengalami tambahan pola/bentuk. Pada Pilkada serentak kali ini khususnya di wilayah Sumatera Utara, akan terlihat pola-pola patron-klien pasangan calon dalam bentuk paketan pilihan politik antara Calon Gubernur & Wakil Gubernur dengan calon Bupati & Wakil Bupati atau calon Walikota & Wakil Walikota. Kita bisa menyaksikan itu disemua spanduk dan baliho kampaye di sepanjang jalan.
Paketan-paketan itu berupaya untuk mengidentifikasi diri masing-masing paslon di tingkat kabupaten/kota adalah bagian in group dari pasangan calon gubernur & wakil gubernur. Upaya mengidentifikasi itu dapat juga dilihat dari pilihan-pilihan visual atas branding diri pasangan calon; coba diingat kembali, ada berapa banyak pasangan calon di tingkat kabupaten/kota yang memaksakan diri menggunakan pilihan warna biru langit (yang merupakan visual warna dari pasangan Prabowo-gibran pada masa Pilpres 2024)? Terkadang dalam satu kabupaten/kota ada pilihan branding visualnya mengalami kesamaan. Bahkan dapat juga ditemui tagline di spanduk dan baliho pasangan yang menyatakan Calon Bupati/Walikota Pilihan Pak Prabowo.
Tentu hal ini dapat dipahami sebagai pesan bahwa pasangan calon tersebut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan terpilih; dan berharap agar semua instrument kekuasan (baca; politik & hukum) bisa ikutserta berpihak pada mereka. Situasi ini menjadi satu bentuk sistem klientelisme yang paling nyata yang terlihat pada Pilkada serentak 2024. Semangat desentralisasi dan otonomi yang dituangkan dalam pelaksanaan Pilkada dengan memberikan ruang kebebasan bagi daerah justru pada praktik akhirnya lebih mengikat dan terasa sentralistis. Ini yang disebut Hadiz & Robison (2013) bentuk kekuatan dan kepentingan yang telah dimapankan sejak era Soeharto dan tidak sertamerta dapat menghilang.
Volition & Legitimasi
Pada klientelisme, hubungan antara patron dan client tidak selamanya hanya dipandang sebagai bentuk distribusi praktik kekuasaan secara hirarkis (paksanaan). Namun terdapat juga satu elemen praktik yang bersifat volition. Element praktik ini didasarkan pada bentuk kesediaan, kesukarelaan atau kemauan dari diri client itu sendiri. Jika kita memposisikan elemet volition ini, maka praktik klientelisme hanya dan akan bisa terjadi jika ada kemauan antar kedua pihak yang terlibat (baik dalam bentuk paksanaan maupun kesukarelawanan).
Penjelasan ini mengantarkan ktia pada satu pertanyaan penting lainnya; apakah jangan-jangan rendahnya angka partisipasi pemilih dan tingginya angka Golput di banyak Pilkada disebabkan tidak ada lagi ruang volition untuk bekerja memberikan pengaruh di dalam praktik klientelisme? Tentu sudah menjadi rahasia bagi banyak pengiat politik praktis, bahwa separuh dari pemilih yang hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah mereka yang terlibat dalam pusaran praktik klientelisme. Lalu, jika yang hadir ke TPS hanya kecil dari 50% total suara pemilih, maka dapat diasumsikan bahwa 25%nya diantaranya merupakan bentuk partisipasi politik yang dihasilkan dari praktik klientelisme. Jika asumsi itu benar adanya, lantas bentuk legitimasi politik seperti apalagi yang bisa kita lekatkan pada satu pasangan calon kepala daerah yang terpilih tersebut?
Langka evaluasi atas bentuk pelaksanaan demokrasi di tingkat daerah melalui Pilkada memang harus segera dilakukan. Sejak digulirkan tahun 2005, apakah Pilkada telah memberikan dampak yang positif terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat? Atau jangan-jangan lebih memberikan ruang terbuka bagi bentuk-bentuk perilaku koruptif yang sejak awal didesain dengan praktik klientelisme dari partai politik ke pasangan calon, dan dari pasangan calon ke masyarakat pemilih.
Kita tentu harus memikirkan kembali formulasi yang tepat; mengembalikan demokrasi dalam kerangka keterwakilan tentu bukan sesuatu yang buruk. Hanya saja, penguatan dan kontrol terhadap individu dan lembaga perwakilan yang harus diperhatikan kembali. Secara kebudayaan, kita tentu tidak bisa menghilangkan bentuk-bentuk patronase di dalam tubuh masyarakat kita. Bentuk patronase ini tidak hanya terstruktur melalui proses-proses ekonomi (seperti toke dan pekerja) tetapi juga masuk ke dalam proses dan struktur-struktur sosial-budaya yang telah berlangsung dalam dan membentuk struktur hirarkis dalam bentuk ikatan marga, ikatan keagamaan dan lain sebagainya. Sehingga mengembalikan proses demokrasi dalam bentuk keterwakilan, setidaknya dapat mengurangi praktik klientelisme politik yang begitu liar. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU