Oleh: Mujahiddin
HAMKA. Begitu nama ini disebutkan maka sebagian besar orang Indonesia akan mengingat seorang ulama karismatik yang bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Nama HAMKA sendiri adalah akronim dari nama asli tersebut. Tidak hanya dikenal sebagai ulama yang karismatik, Hamka juga sering diposisikan sebagai filsuf dan sastrawan. Latar belakang pekerjaannya sebagai wartawan, penulis dan pengajar serta pengalaman perjalananya dalam menuntut ilmu pengetahuan, rasa-rasanya wajar jika Hamka mempunyai seluruh kemampuan tersebut.
Bagi pencinta sastra, kisah Tenggelamnya Kapar Van Der Wijck tentu dapat dijadikan dasar penilaian tentang bagaimana kedalaman karya sastra seorang Hamka, dialog yang dimainkan antara Zainuddin dan Hayati dalam kisah tersebut adalah dialog dengan kualitas sastra yang dalam. Tidak salah jika pada saat itu, kisah Tenggelamnya Kapar Van Der Wijck mampu membuat Koran Pedoman Masyarakat laku keras dan ditunggu oleh setiap orang. Satu karya sastra lagi yang tidak bisa dilupakan dari Hamka adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah. Kedua karya sastra ini telah dibukukan dan diadaptasi ke dalam film layar lebar.
Ada hal yang menarik dari balik karya-karya sastra ini, pada Film Buya Hamka yang baru liris pada 19 April 2023 lalu, Hamka dalam dialognya dengan sang istri mengatakan bahwa sastra (baca; dalam bentuk tulisan) dapat dijadikan alat untuk berdakwah. Banyangkan pada saat itu, Hamka telah berpikir tentang bentuk media alternatif dalam berdakwah; bahkan karyanya yang berjudul Tasawuf Modern menjadi satu media dakwah yang mengingatkan para ulama sufi pada masa itu untuk tidak memandang kaku tasawuf. Melalui karya ini, Hamka berhasil menjembatani fase baru dalam dasar-dasar sufisme di Indonesia.
Moral-Intelektual
Itulah Hamka, ia tidak hanya besar dalam karya-karyanya tetapi keyakinan yang teguh terhadap Allah membuat Moral-Intelektualnya menjadi begitu anggun. Keikhlasnya dalam membesarkan Muhammadiyah, sikapnya yang tegas terhadap NIPPON Jepang dan perjuangan dalam melawan Penjajahan Belanda adalah bukti autentik dari kuatnya Moral-Intelektual Hamka; yang pada fase-fase itu harus menghadapi berbagai bentuk fitnah atas dirinya. Tidak ada dendam dalam diri Hamka, meski dipenjara oleh Rezim Orde Lama, tapi Hamka tetap ikhlas dan bersedia untuk menjadi imam solat bagi jenazah Soekarno. Hamka justru mengambil hikmah dari pemenjaraanya selama dua tahun empat bulan tersebut; baginya kondisi tersebut harus disukuri karena dengan dipenjara ia dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Quran 30 Juz yang kemudian dikenal sebagai Tafsir Al-Azhar.
Tidak hanya terhadap Soekarno, rasa dendam Hamka terhadap sastrawan Pramoedya Ananta Toer juga tidak ada; meski Pram melalui Harian Bintang Timur, menuding karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapar Van Der Wijck sebagai hasil plagiat dari Sous les Tilleuls karya pengarang Perancis Jean-Baptiste Alphonse Karr. Namun pada satu waktu, Hamka kedatangan tamu seorang perempuan Jawa yang bernama Astuti yaitu anak perempuan Pram. Astuti membawa seorang laki-laki Tionghoa dan meminta Hamka untuk membimbing sang kekasih (baca; calon suaminya) belajar dan memeluk agama Islam. Pada waktu itu, Astuti mengatakan bahwa sang ayah tidak menyetujui jika ia menikah dengan laki-laki yang berbeda agama. Tanpa ragu, Hamka menyetujui permintaan Astuti dan membimbing calon menantu Pram itu membaca dua kalimat syahadat. Pada satu laporan dikatakan bahwa alasan Pram mengutus calon menantunya itu kepada Hamka untuk belajar Islam karena menurutnya Hakma merupakan sosok yang tepat untuk belajar Islam dan tauhid.
Dua kisah ini menjadi tanda keluasan sikap dan pandangan Hamka yang dibentuk dari moral-intelektualitasnya. Hamka berkeyakinan bahwa orang yang berakal akan luas pengetahuannya dan luas keimanannya. Keyakinan itu diucapkan Hamka dengan istilah; “Semakin banyak ilmu semakin lapang hidup, semakin kurang ilmu semakin sempit hidup,” dan “orang berakal hidup untuk masyarakat, bukan buat dirinya sendiri.” Itulah yang tergambar dalam tindak-perilaku Hamka, ia menjadi ulama yang konsisten dalam ucapan dan perbuatan. Di sini, Hamka berhasil memberikan contoh nyata dari konsistensi moral-intelektual seorang muslim.
Melihat pribadi Hamka tersebut, tentu kita harus menyakini bahwa tujuan akhir dari sebuah intelektualitas adalah kebersihan hati. Mengutip Al-Quran Surat Al-Hajj Ayat 54 yang menjelaskan; Wa liya’lamallażīna ụtul-‘ilma annahul-ḥaqqu mir rabbika fa yu`minụ bihī fa tukhbita lahụ qulụbuhum, wa innallāha lahādillażīna āmanū ilā ṣirāṭim mustaqīm.
Ayat di atas mempertegas bahwa kebenaran harus dicari dan dicapai dengan jalan ilmu pengetahuan. Hanya saja, ilmu tersebut tidak ada gunanya jika tidak ditujukan untuk membangun fa yu`minụ bihī (baca; yaitu beriman kepada Allah), di sini melekat konsepsi yang menjelaskan apa artinya berilmu jika tidak beriman pada tuhan. Ilmu yang tidak beriman pada tuhan akan menjadi ilmu yang liar, ilmu yang akan menjerumuskan pada kerusakan.
Namun ilmu dan iman saja tidak-lah cukup, karena masih ada satu komponen yang harus dituju dalam perjalanan intelektual yang terakhir yaitu fa tukhbita lahụ qulụbuhum (baca; hati yang menjadi bersih dan jernih). Disinilah kebijakansanaan seorang intelektual akan terlihat, apakah ia akan menjadi pribadi yang rendah hati, tidak sombong, jauh dari sikap hasad, dengki, iri dan takabur atau sebaliknya. Puncak dari keseluruhan rangkaian ini adalah sikap tawadhu yang selalu optimis terhadap takdir tuhan dan harmonis dalam hubungan dengan Allah dan juga manusia.
Penutup
Menjelang akhir Ramadhan kemarin, warga Persyarikatan Muhammadiyah dihadapkan dengan polemik adanya komentar ancaman pembunuhan dari peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berinisial AP Hasanuddin kepada Jemaah Muhammadiyah. Ada banyak tanggapan dan komentar yang diberikan atas polemik tersebut dan saat ini sudah masuk pada tahapan proses hukum. Saya sebagai warga Muhammadiyah dan orang yang tumbuh dalam kerangka kurikulum intelektual Muhammadiyah tentu sangat menyangkan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh peneliti BRIN tersebut.
Rasa-rasanya, oknum tersebut tidaklah memahami secara mendalam Persyarikatan Muhammadiyah baik secara historis maupun kekinian. Lebih disayangkan lagi, pengakuan oknum tersebut saat diperiksa di Satreskrim Polres Jombang pada Selasa (25/4/2023) mengatakan bahwa komentar yang dituliskan pada media sosial Facebook tersebut adalah bentuk emosi sesaat dan tidak berniat menjelekkan Muhammadiyah. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah pantas perilaku tersebut –baik secara sadar maupun emosional –dilakukan oleh seorang peneliti yang bekerja di badan riset negara?
Pertanyaan ini tentu tidak hanya diajukan dalam kasus ini saja, tetapi juga harus diajukan secara lebih mendalam untuk kita semua yang mengaku sebagai peneliti dan intelektual; baik yang bekerja di lembaga penelitian maupun di berbagai perguruan tinggi. Sehingga kita bisa mendapatkan satu bentuk refleksi atas moral-intelektual yang sudah kita miliki sebagai bagian dari anak-bangsa. Jangan-jangan intelektualitas kita masih sebatas pada upaya pencarian kebenaran atas ilmu-pengetahuan? Belum sampai pada tahap akhir yang disebut sebagai fa tukhbita lahụ qulụbuhum.
Pada titik inilah kita membutuhkan sosok seorang Hamka, dan para peneliti –baik yang ada di BRIN –harus mulai memahami urgensi dari kebijaksanaan pengetahuan. Bukankah Hamka pernah mengatakan; “Orang beradab pasti pandai menghormati keyakinan orang lain, walaupun dia sendiri tidak sesuai dengan keyakinan itu.” Ya, sekali lagi kita harus banyak belajar dari Hamka, soerang Buya bagi banyak anak bangsa. (*)
Penulis adalah Doktor Pada Bidang Studi Pembangunan dan Dosen di FISIP UMSU