Oleh: Surya Darma Hamonangan Dalimunthe
Penulis adalah anggota Tim Sains Terbuka Indonesia
Sejak artikel berjudul ‘Jerumus Scopus’ ditulis akhir Desember 2018 dan terbit beberapa waktu lalu, di tahun 2019 ini sudah ada dua negara lagi, yaitu Norwegia (1) dan Hungaria (2), yang tidak melanjutkan kerja sama mereka dengan Elsevier dan berbagai produknya, seperti ScienceDirect, Scopus, and SciVal.
Lebih lanjut, kelompok Universitas California juga telah memutuskan kontrak mereka dengan Elsevier (3). Negara-negara dan lembaga-lembaga ini mengikuti Jerman dan Swedia (4), serta Peru dan Taiwan (5) yang telah lebih dulu melakukan hal serupa. Dua keluhan utama terhadap Elsevier dan penerbit serta pengindeks ilmiah komersial serupa adalah biaya yang sangat mahal dan sistem publikasi dan indeksasi yang tertutup (6).
Sayangnya, banyak dari para ilmuwan dan pembuat kebijakan di Indonesia sepertinya belum mengikuti perkembangan keterbukaan di dunia ilmiah internasional ini. Respon yang beredar di media sosial terkait artikel ‘Jerumus Scopus’ memang banyak yang positif, namun tidak sedikit yang negatif. Salah satu komentar yang paling mencolok adalah pandangan bahwa para kritikus Scopus harus memiliki capaian tertentu, misalnya nilai indeks-h tertentu.
Sepertinya pengetahuan publik tentang indeks-h perlu ditambah dengan banyaknya kritikan yang mengkorelasikan produktivitas dan dampak sitasi seorang ilmuwan dengan nilai indeks-h nya, antara lain karena indeks-h tidak mempertimbangkan jumlah sitasi tipikal dalam suatu bidang ilmu sehingga perbandingan perilaku sitasi ilmuwan antar atau bahkan dalam satu bidang ilmu pun bisa jadi tidak valid (7). Selain itu indeks-h rentan terhadap perilaku manipulasi sitasi (8). Akibatnya muncul berbagai indeks lain seperti indeks-c, indeks-e, indeks-g, indeks-m, dan indeks-s. Yang lebih penting lagi dari semua indeks ini adalah indeks-r, yang dapat mengukur replikabilitas dan integritas penelitian-penelitian kuantitatif (9).
Namun, jika pun logika pemberi komentar tersebut diikuti, bahwa seorang pengkritik harus punya otoritas terlebih dulu agar kritiknya didengar dan dipertimbangkan. Berikut daftar penerima Nobel yang tidak hanya mengkritik penerbit dan pengindeks komersial seperti Elsevier dengan Scopus dan Clarivate Analytics dengan Web of Science, bahkan mengkritik sistem akademik sekarang yang memicu produktivitas semu dan menjauhkan ilmuwan dari pencarian kebenaran dan penemuan yang bermanfaat untuk seluruh umat manusia.
Di dalam daftar ini ada Randy Schekman, Peter Higgs, Sydney Brenner, Joseph Stiglitz, John Sulston, Harold E. Varmus, Peter Doherty, Joseph Goldstein, Paul Nurse, Bruce A. Beutler, Mario R. Capecchi, John Gurdon, Kurt Wüthrich, dan Harald zur Hausen. Lima nama yang disebut terakhir merupakan anggota dewan editor Peerj, sebuah inisiatif publikasi inovatif dalam bentuk ‘jurnaluas’ (mega journal) yang berbasis keanggotaan (10).
Kritik Schekman, yang dilontarkannya setelah menerima Nobel untuk Fisiologi/Kedokteran, sangat keras bunyinya, bahwa insentif untuk menerbitkan karya di jurnal-jurnal ‘prestisius’ seperti Nature, Cell dan Science merusak sains sebagaimana bonus uang berlebihan di Wall Street merusak dunia perbankan (11). Seperti penerima Nobel lainnya, yaitu Doherty, Goldstein, dan Nurse, mereka menganggap faktor dampak jurnal (journal impact factor) sebagai sebuah tolok ukur yang berbahaya untuk perkembangan sains karena menciptakan kelangkaan dan prestise palsu serta mendorong perilaku-perilaku penelitian yang meragukan (questionable research practice) (12). Buktinya adalah semakin banyak jumlah karya yang ditarik dari jurnal-jurnal prestisius ini karena ternyata melanggar etika atau tidak bisa direplikasi dan direproduksi. Laman daring Sciencemag (12a) menayangkan informasi bahwa jumlah penarikan makalah meningkat pada beberapa dekade ke belakang. Pada tahun 2014 tercatat hampir 1000 makalah telah ditarik. Laman daring lainnya Retraction Watch (12b) juga menampilkan 10 makalah dengan sitasi tertinggi yang ditarik sejak tahun 2007 hingga 2018).