Oleh: Mujahiddin
Di tengah belantara hutan yang rimbun, terjadi perdebatan yang panjang antara Keledai dan Harimau. Mereka berdebat tentang rumput yang mereka lihat. Keledai mengatakan, rumput itu berwarna biru dan ia bersikeras atas pandangannya tersebut. Harimau marah, karena ia tau bahwa rumput yang mereka pandang itu sebenarnya berwarna hijau. Untuk menghindari perdebatan yang berkepanjangan, mereka akhirnya sepakat untuk menemui Singa; si raja hutan. Singa dikenal bijak dalam memutuskan berbagai perkara dan perselisihan yang terjadi di antara binatang penghuni hutan.
Pertemuan-pun berlangsung, Singa dengan cermat mendengar cerita dari Keledai dan Harimau. Setelah mendengar cerita itu; Singa diminta untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ketupusan diambil, Singa menyatakan bahwa Keledai-lah yang benar. Tidak hanya itu, Singa juga mengambil keputusan dengan memberikan sanksi kepada Harimau berupa larangan bicara kepada siapapun selama satu tahun. Larangan tersebut berlaku saat itu juga, sehingga otomatis Harimau tidak bisa bertanya atau berargument lagi dihadapan Singa.
Waktu terus berjalan, akhirnya Harimau sudah melawati masa hukumannya selama satu tahun. Hari yang dinanti itu telah tiba, Harimau langsung menemui Singa karena ia sangat penasaran dan ingin bertanya mengapa Singa membenarkan pernyataan Keledai? Dan mengapa ia harus mendapatkan hukuman larangan bicara selama satu tahun? Mendengar kedua pertanyaan ini diajukan, Singa menahan tawanya. Sambil menatap Harimau, Singa menjawab; “saya tau rumput itu berwarna hijau dan saya memberikan hukuman kepada-mu bukan karena kamu salah, tetapi karena kamu sudah membuang-buang waktu mu untuk berdebat dengan seekor keledai.”
Singa kemudian melanjutkan nasehatnya; “hindari perdebatan terutama dengan yang jahil dan angkuh. Mereka hanya merusak emosi kamu sendiri. Berdebat dengan Keledai yang bodoh hanya akan membuat mu seperti dia.” Itu sebabnya aku menghukum mu untuk berdiam diri, agar kamu bisa memetik hikmah untuk tidak lagi berdebat dengan kebodohan.
Nasehat Singa kepada Harimau patut untuk dicermati. Apalagi dalam situasi saat ini yang sudah masuk masa kampaye politik. Terkadang kita tidak bisa menghindari perdebatan dilingkungan sosial kita sehari-hari. Dalam banyak kasus bahkan perdebatan tersebut tidak mendasar; tanpa argumentasi logis, dukung-mendukung hanya sebatas fanatisme buta atau hanya sebatas kebencian yang tidak mendasar terhadap satu aktor tertentu. Banyak diantara kita bahkan sudah lebih dulu memberikan judging dan lebeling terhadap aktor politik tanpa melihat track record kinerja, latar belakang karir politik, pengalaman sebagai warga negara dan lain sebagainya.
Tidak jarang juga ada di antara kita ada yang berani mengatakan visi-misi calon pilihannya lebih baik dari visi-misi calon lainnya, padahal pernyataan tersebut tidak dilandasi pengetahuan yang cukup atas perbandingan naskah visi-misi yang ditulis. Malah bisa jadi, yang memberi penilaian sama sekali belum pernah membaca naskah visi-misi calon. Pengetahuannya hanya didasarkan pada “katanya”. Terkadang celakanya, sumber “katanya” berasal dari postingan-postingan media sosial yang tidak jelas asal muasalnya.
Dalam tiga tahun terakhir, pilihan masyarakat indonesia untuk mencari informasi memang lebih banyak melalui media sosial. Hal ini terlihat dari laporan Survei hasil Kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Katadata Insight Center (KIS) yang mengungkapkan dari 10.000 responden 72,6 persen mengaku bahwa media sosial sebagai sumber informasi utama dalam mencari informasi. Sedangakan televisi dan situs berita online menjadi sumber informasi kedua dan ketiga dengan jumlah 60 persen dan 27,5 persen.
Menyandarkan informasi yang begitu besar pada media sosial tanpa diikuti nalar kritis tentu menjadi permasalahan. Sebab banyak dari konten-konten media sosial berisi pendapat pribadi, informasi bohong (hoaks) yang tidak layak dikonsumsi. Kuatnya peran media sosial sebagai sumber informasi, memberikan pengaruh yang kuat dalam pembentukan realitas sosial. Dalam konsepsi filsafat -khususnya di wilayah epistimologis – kondisi ini disebut-sebut melahirkan situasi post-truth. Pemilihan presiden di Amerika pada tahun 2016 lalu banyak diwarnai oleh kondisi ini. Metode propaganda firehouse of falsehood-nya Trump menciptakan kondisi post-truth yang mengemparkan. Tidaknya hanya di dalam Negeri Amerika tetapi juga pada wilayah global.
Kondisi post-truth itu kemudian diangkat dan ditulis secara utuh oleh Tom Nichols dengan judul buku; The Death of Expertise. Ada banyak penjelasan yang menarik dalam buku ini tentang ‘Matinya Kepakaran’ dan ancaman bahayanya terhadap demokrasi. Point pentingnya Nichols ingin mengatakan bahwa pendapat yang salah bisa dianggap sebagai kebenaran. Ia kemudian menggaris bawahi hilangnya peran perguruan tinggi, media hingga kalangan pakar yang harusnya dapat memberikan penjelasan yang benar tetapi justru kadang memiliki andil dalam mematikan kepakaran. Pesan lainnya yang disampaikan Nichols adalah penting mencari dan memperoleh informasi yang tepat, demi kebaikan diri sendiri, orang lain dan arah pembangunan demokrasi. Bukankah di dalam propaganda dan praktik demokrasi yang buruk; ‘Ketidaktauan sengaja ditumbuhkan karena ia akan bernilai sama di dalam kotak suara?’ Jangan sampai kita terjebak dalam situasi ini.
Saat ini kita sedang berada dalam kondisi Pemilu. Praktik politik elektoral terkadang membuat aktor-aktor politik menghalalkan segala cara untuk membuat propaganda dan black campaign terhadap pesaing mereka untuk mendapatkan suara dari masyarakat. Terkadang pada prosesnya, praktik-praktik tersebut menghasilkan pembelahan di antara masyarakat baik pada saat Pemilu maupun setelahnya. Celakanya, setelah Pemilu selesai, aktor-aktor tadi malah berdamai.
Maka bijaklah dalam memilih. Hindari perdebatan yang tidak penting. Jika pengetahuan kita tidak cukup untuk menjelaskan sesuatu, maka diamlah. Jangan memperkeruh suasana. Jika ada “Keledai” yang mengatakan rumput itu biru, maka biarkanlah. Memang begitulah Keledai, ia suka jatuh dua kali di lubang yang sama. Tentu kita bukan Kedelaikan? Eh, maksudnya Keledai? Ah, itupun masih salah tulis! (*)
Penulis adalah Doktor Studi Pembangunan di FISIP UMSU & Direktur Eksekutif MuhRaz Institut.