Oleh: M. Risfan Sihaloho
Adalah fakta yang tak dapat dipungkiri, bahwa kecenderungan tradisi kepemimpinan di negeri ini hampir selalu berwajah konstan; dimana di awal selalu menyuguhkan manis “harapan”, namun di belakangan melulu mempersembahkan pahit “kekecewaan”.
Kecenderungan seperti itu telah sudah galib terjadi, dimana harapan selalu bertolakbelakang dengan kenyataan. Sebelum berkuasa, di mana-mana calon pemimpin selalu menjanjikan perubahan. Namun saat sudah berkuasa, perubahan yang dijanjikannya tak kunjung jadi kenyataan.
Potret budaya suksesi kepemimpinan di republik ini sepertinya persis sekali dengan apa yang pernah diungkapkan pujangga dunia Kahlil Gibran dalam puisinya; kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya//dengan trompet kehormatan namun//melepasnya dengan cacian// hanya untuk menyambut penguasa baru lain// dengan trompet lagi.
Ya, segala hal indah yang pernah dijanjikan para pemimpin itu hanya terhenti sebagai das solen, jarang terwujud jadi das sein. Akhirnya, para politisi dan pemimpin di republik ini cuma mampu mempraktikkan “politik kekecewaan”. Mereka gagal mempersembahkan kemaslahatan yang mereka janjikan terhadap rakyat.
Bila kita cermati, penyebab timbulnya kekecewaan itu tak lain karena kebanyakan di awal sebelum berkuasa (saat masih jadi calon) para pemimpin itu terlalu ultra produktif mengumbar janji dan harapan kepada rakyat. Namun ketika sudah berkuasa, ia cenderung lupa dengan apa yang telah janjikan.
Dan yang lebih menarik lagi, ada calon pemimpin yang merupakan pendatang baru (new-comer) tampil begitu percaya diri (over-convidence). Dengan sesumbar ia mengumbar janji ingin melakukan sesuatu yang bombastis untuk mempersembahkan perubahan dan kemajuan, sembari dengan brutal menyerang pendahulunya yang sekarang jadi rivalnya.
Dengan jumawa ia pun berupaya meyakinkan rakyat bahwa dirinyalah sosok calon pemimpin impian yang paling layak untuk dipilih.
Kisah Naga Baru
Tentang hal ini, ada sebuah kisah menarik yang layak dijadikan sebagai refleksi. Betapa sesungguhnya godaan kekuasaan itu sangat luar biasa berbahaya, dan banyak yang kemudian ternyata tidak berdaya menghadapinya.
Alkisah. Konon suatu hari seorang pendekar silat yang sangat sakti diprovokasi murid-muridnya agar masuk ke sebuah gua untuk mengalahkan seekor Naga yang menghuni gua tersebut. Sudah ratusan pendekar masuk ke dalam gua berusaha membunuh Sang Naga, tetapi tidak satupun mereka berhasil keluar dari gua dengan selamat. Kabarnya mereka semua tewas mengenaskan saat bertarung dengan Sang Naga.
Karena merasa tertantang, tanpa pikir panjang Sang Pendekar mengabulkan permintaan murid-muridnya. Dengan penuh wibawa dan jumawa ia pun bergegas masuk ke dalam gua.
Beberapa langkah memasuki mulut gua, dia langsung disambut Sang Naga dengan serangan bertubi-tubi. Pertarungan pun tak dapat dielakkan.
Namun selang beberapa saat, si pendekar guru justeru terkejut, dia tak menyangka ternyata Sang naga sama sekali tidak sesakti yang diceritakan orang di luar sana.
Tanpa butuh waktu lama, dan tanpa harus mengeluarkan segenap kesaktiannya, si pendekar guru berhasil menyudahi pertarungan. Dengan sekali tebas saja Sang Naga langsung tersungkur mati tak berdaya.
Setelah membunuh sang naga, si pendekar lalu mengamati sekeliling gua. Dia terkejut, ternyata gua itu penuh dengan bongkahan emas permata yang kemilaunya sangat memesona.
Tak ayal, dia pun tergiur untuk mengambil beberapa genggam permata, untuk jadi oleh-oleh kepada murid-muridnya, sekaligus sebagai bukti dia telah berhasil mengalahkan Sang Naga.
Namun apa mau dikata, begitu meraup permata tersebut, seketika itu pula dia menjelma jadi seekor naga.
Karena merasa malu maka sang pendekar guru memilih tetap tinggal di dalam gua dengan wujudnya yang baru, yakni jadi “naga baru”.
Sementara itu, karena sang guru tidak juga kunjung keluar, murid-muridnya dilanda kecemasan. Mereka menyangka si guru telah tewas dimangsa sang naga. Sama sekali mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, padahal gurunya telah berubah wujud naga yang baru.
Pesan Moral
Secara implisit kisah di atas mengingatkan kepada kita semua, betapa ternyata sebuah niat dan tekad baik itu belum tentu cukup tangguh jika sudah berhadapan dengan godaan pesona kekuasaan. Hal ini senada dengan sentilan yang dilontarkan Charles Stross, bahwa politik (kekuasaan) itu adalah kotor, akan merusak segala yang disentuhnya.
Melihat realitas empiris yang terjadi selama ini, betapa ternyata mereka para penguasa baru itu cuma mampu sebentar saja memertahankan idealismenya. Tak lama setelah resmi menjadi penguasa, ia pun berubah dan kemudian hanya memikirkan serta menikmati kursi empuk yang mereka duduki, sembari jelalatan melirik peluang bisnis sampingan–konon tujuannya tidak sekedar “membalikkan modal”, tapi lebih dari itu ingin mengumpulkan pundi-pundi kekayaan.
Selain itu, ia juga dengan cepat melupakan tumpukan janji yang ia umbar kepada rakyat saat kampanye dulu. Sebagai implikasinya, alih-alih ingin tampil agresif melakukan gebrakan perubahan dan perbaikan, perilakunya justru tidak ada bedanya dengan pedahulunya. Ia kemudian malah jadi bagian dari sistem yang korup tersebut.
Kendati demikian, memang banyak juga yang beranggapan bahwa dalam politik faktor orang (subjek) merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Artinya, faktor subjek itu memiliki potensi mementukan apakah tindakan dan perilakunya menjadi pragmatis atau idealis. Karena, seperti halnya yang juga berlaku pada aspek kehidupan lain–termasuk agama–pada dasarnya politik itu adalah sesuatu yang baik dan mulia.
Namun, bila dilihat kecenderungan yang terjadi selama ini, sepertinya musykil bagi kita untuk percaya dan berharap banyak pada faktor subjek politisi tersebut.
Faktanya, determinasi institusi partai politik dan konstelasi dunia politik kadung cenderung bobrok dan korup nyatanya lebih kuat dan hegemonik, termasuk untuk merapuhkan dan merontokkan idealisme personalitas para calon pemimpin baru.
Jadi, saking kuatnya determinasi partai politik, maka sulit dan konyol bagi personal penguasa baru untuk tampil beda dan memilih melawan mainstream kebijakan partainya.
Belum lagi kemudian terkait agenda politik balas budi. Boro-boro fokus ingin menunaikan kewajibannya melayani tuntutan rakyat, justru ia akan dipaksa sibuk untuk melayani dan mengakomodir tuntutan para toke dan pendukung yang telah berjasa menjadikannya penguasa.
Karena itu, sepertinya tidak usah terlalu berharap besar kepada penguasa baru bisa membuat perubahan yang spektahuler. Ia mampu menjalankan roda kepemimpinannya dengan etos kerja yang penuh tanggung jawab, paham dengan fungsi dan tugas sebagai pemimpin dan sanggup menjaga konsisitensi idealisme, rasanya itu sudah sangat cukup. Terutama untuk memastikan ia kelak terhindar dari ancaman kutukan jadi “naga baru” itu. Semoga. (*)
Penulis adalah Pemred TAJDID.ID