Oleh: M. Risfan Sihaloho
Dalam tataran filosofis, demokrasi memang tampak begitu ideal sebagai sebuah paham dan konsep yang sangat mengangungkan dan memuliakan eksistensi rakyat. Artinya, kedudukan rakyat dalam narasi demokrasi adalah sebagai tema sentral dan subjek vital yang tidak terbantahkan.
Keutamaan eksistensi rakyat itu dapat dilihat dari rumusan defenisi demokrasi yang selama ini galib kita dengar, dimana demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seolah-olah, defenisi ini ingin menegaskan betapa dominannya eksistensi rakyat dalam konsep demokrasi.
Bukan cuma itu, keagungan rakyat dalam demokrasi juga dapat dilihat dari sebuah adagium yang sudah sangat populer di telinga kita, yakni “Vox Populi Vox Dei”, artinya “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Dalam adagium itu, betapa rakyat begitu disanjung dan diglorifikasi secara eksesif. Tidak tanggung-tanggung, bahkan harkat rakyat telah dilambungkan setinggi langit, dimana suaranaya disetarakan dengan suara Tuhan.
Baca juga: Suara (Hati) Rakyat
Namun, secara praksis, dalam praktiknya demokrasi justru lebih sering memperlihatkan kesan yang paradoks. Tatkala demokrasi telah menjelma jadi sebuah perangkat sistem, mekanisme dan prosedur yang formal juga kaku, keberadaan rakyat justeru cenderung diabaikan dan dinistakan.
Rakyat memang masih tetap sering disanjung dan dipuja, namun itu hanya sebatas dalam jargon dan retorika saja, tidak lebih. Faktanya, rakyat bukan hanya sering ditipu, dikhianati dan dikebiri, tapi juga kerap “dibunuh” di dalam rumahnya sendiri.
Akhirnya, dalam demokrasi rakyat hanya jadi sosok “raja” tanpa tahta dan mahkota. Sudah lama tahta dan mahkotanya dirampas oleh segelintir orang licik yang selalu mengaku pro rakyat.
Begitulah kecenderungan yang terjadi selama ini, kebaikan umum (bonum commine) bagi rakyat (hoi polloi) yang menjadi cita-cita luhur demokrasi filosofis ternyata telah gagal dibumikan ke dalam tradisi kehidupan demokrasi praksis. Pengamalan nilai-nilai luhur demokrasi filosofis justru lebih sering dimanipulasi, sehingga realitas demokrasi kemudian mengalami distorsi, pengerdilan dan pendangkalan.
Demokrasi pun kemudian lebih terkesan hanya sebagai instrumen formal prosedural untuk mengakomodir nafsu kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja. Dan parahnya, semua itu dilakukan melulu dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Praktik demokrasi distortif ini kemudian makin menjadi-jadi ketika konstelasi dunia politik telah dikuasai oleh kartel politik dan oligarki. Dengan kekuatan sumber daya yang dimiliki, mereka dengan mudah mampu mendikte jalannya kehidupan demokrasi yang selaras dengan kepentingan mereka.
Jika kecenderungan demokrasi distortif ini makin menguat, maka alih-alih bisa mempercepat konsolidasi demokrasi substansial seperti yang dicita-citakan reformasi, justru yang terjadi kemudian adalah demokrasi mengalami degradasi yang mengarah kepada kelumpuhan.
Tentang hal ini, menarik sekali apa yang dikatakan oleh Aysha Taryam dalam bukunya “The Opposite of Indifference: A Collection of Commentaries”, dimana dia menyarankan agar demokrasi harus selalu dilihat dengan persfektif filosofis dari pada politis. Karena, menurutnya, setelah demokrasi lahir dari seorang filsuf, lalu kemudian dibunuh oleh politisi. (*)