Oleh: M. Risfan Sihaloho
Ikhwal kebenaran dalam konteks politik adalah sesuatu yang absurd. Artinya, kebenaran politik itu sangat musykil untuk diukur objektivitas dan validitasnya. Kecendrungan ini boleh jadi disebabkan nalar politik yang memproduksi kebenaran itu memang cenderung bersifat relativistik dan pragmatistik.
Bila dicermati, tradisi politik praktis itu memang sering diidentikkan dengan ikhwal “kepentingan” belaka. Karenanya wajar kemudian kebenaran politik hanya semata dianggap sebagai hasil representasi dari kepentingan politik. Kebenaran politik yang disajikan tidak akan pernah lepas dan bebas dari nilai kepentingan politik. Sebagai implikasinya, muncul adagium yang memandang kebenaran dalam politik itu “tidak selalu harus benar” dan begitu juga kesalahan “tidak pula melulu mesti salah”.
Tentang hal ini, filsuf eksistensialis Prancis, Jean Paul Satre dengan sinis pernah menyebut politik tidak lain adalah sebuah ilmu yang memungkinkan pemiliknya (politisi) dapat menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling benar, sedangkan orang lain salah.
Dengan demikian, wajar saja jika kemudian tindakan dan prilaku politik bisa menjadi “serba benar” atau “serba tidak keliru”, meskipun sebelumnya pandangan umum sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang salah, kontroversial dan irrasional.
Begitulah. Dalam politik yang sering dilakukan oleh para politisi sebenarnya bukan memihak kepada kebenaran sejati, melainkan berpihak kepada kebenaran subjektif yang tidak lain merupakan cerminan dari kepentingan politik.