Oleh: Surya Darma Hamonangan Dalimunthe
“Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar.” Artinya: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Dari jutaan bahkan milyaran doa penduduk bumi, ternyata doa ini yang sangat dipuji Allah dan dianjurkan Rasulullah. Saking komprehensifnya, ia dinamakan “doa sapu jagat”, yang nilai kesapujagatannya jauh melebihi hukum sapu jagat yang kontroversial itu.
“Kejar dunia, dapat dunia. Kejar akhirat, dapat dunia dan akhirat.” Begitulah inti dari ayat Al-Qur’an berikut: Mang kāna yurīdu ḥarṡal-ākhirati nazid lahụ fī ḥarṡih, wa mang kāna yurīdu ḥarṡad-dun-yā nu`tihī min-hā wa mā lahụ fil-ākhirati min naṣīb.
Ayat ini didukung hadis sahih yang berbunyi: “Barang siapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barang siapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”
Oleh itu, sangat mengherankan melihat fenomena kampus-kampus di Indonesia yang berbondong-bondong menyatakan diri ingin menjadi World Class University atau Universitas Kelas Dunia (UKD). Kalaupun istilah ini diterima, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, seharusnya yang menggaungkan istilah padanannya, Universitas Kelas Akhirat (UKA), adalah para sivitas akademika dari kampus-kampus Islam, apalagi yang negeri.
Namun, yang malah menyuarakan perlunya UKA ini berdasarkan sumber Google hanya dua orang ilmuwan dari kampus-kampus ‘umum’, yaitu Deddy Mulyana dari Universitas Padjajaran dan Abdul Hamid dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Bagaimana dengan UINSU, kampus Islam negeri terbesar di Sumatera Utara? Jangankan UKA, rasanya UKD sendiri para sivitas akademikanya, termasuk sang Rektor yang baru-baru ini dilantik oleh Menteri Agama, tidak begitu mengerti apa bendanya. Kalau mengerti, pasti tidak seorang pun dari para sivitas akademika ini yang sesumbar bahwa UINSU bisa bercita-cita mencapai status UKD.
Kenyataan pahit harus diterima oleh kampus ini. Faktor mutlak untuk mencapai status UKD adalah ketersediaan anggaran yang sebanding dengan anggaran kampus-kampus kelas dunia lainnya. Di wilayah Asia Tenggara, hanya kampus-kampus di Singapura lah yang bisa menyatakan diri sebagai UKD. Namun, jangankan dibandingkan anggaran UINSU dengan anggaran NUS atau NTU di Singapura, dengan sesama kampus negeri di Medan saja, seperti USU dan UNIMED, masih kalah jauh. Kalaupun agak bertambah satu dekade terakhir, itupun akibat pinjaman dari Bank Pembangunan Islam (IDB).
Sebab itulah para rektor UINSU sebelumnya pontang-panting mencari dana ke sana ke mari agar dapat memenuhi ambisi UKD ini. Apa mau dikata, ambisi “besar pasak dari tiang” ini malah terbukti menghasilkan korupsi besar-besaran di UINSU, sehingga terdengar beberapa jajaran pimpinan yang menjadi terduga bahkan tersangka korupsi.
Agaknya para sivitas akademika UINSU sekarang termasuk Rektornya yang baru dilantik perlu merenungkan betul tentang ambisi UKD ini. Makalah Andrew Rosser berjudul “Neo-liberalism and the politics of higher education policy in Indonesia” perlu dijadikan bahan kajian. Pada abstraknya, Rosser menulis:
“Makalah ini membahas pengalaman Indonesia dengan reformasi pendidikan tinggi neoliberal. Ia berpendapat bahwa reformasi ini telah menghadapi perlawanan kuat dari unsur politik, militer, dan birokrasi predator, klien korporasi mereka, dan kekuatan massa. Hasilnya adalah kelanjutan sistem sentralistis dan predator pendidikan tinggi yang dimulai pada zaman Orde Baru.
“Satu-satunya bidang di mana reformasi neoliberal telah berkembang adalah ketika agenda neoliberal telah selaras dengan kekuatan massa dan hanya ada sedikit perlawanan dari unsur predator.”
“Makalah ini menggambarkan peran konfigurasi kekuasaan dan kepentingan domestik dalam menengahi tekanan global untuk reformasi pendidikan tinggi neoliberal. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu membangun model pendidikan tinggi yang sesuai dengan kekuatan politik yang sedang berkuasa sekaligus menghasilkan penelitian dan pengajaran yang lebih baik daripada yang terjadi sekarang.”
Satu-satunya model pendidikan tinggi yang bisa meretas konfigurasi neoliberal sekarang adalah Universitas Kelas Akhirat atau UKA! Dalam UKA, yang dipentingkan adalah tujuan dan cara sekaligus, sehingga tujuan yang baik dengan cara yang buruk, pasti diharamkan! Para pimpinan universitas tidak boleh terpilih dengan uang, sehingga memungkinkan terjadinya Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang baru-baru ini terjadi pada Rektor Universitas Negeri Jakarta.
Untungnya, wilayah Asia Tenggara pernah memiliki salah satu model UKA sekaligus UKD terbaik di dunia, yaitu International Institute for Islamic Thought and Civilization (ISTAC) ketika di bawah Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas. ISTAC sangat disegani di seluruh dunia di bawah Profesor al-Attas, terbukti dengan berkenannya keluarga atau almarhum Fazlur Rahman memberikan seluruh koleksi karya dan bukunya ke perpustakaan ISTAC.
Memang perpustakaan adalah jantung universitas. Profesor al-Attas tidak segan-segan menggunakan anggaran untuk membangun perpustakaan kelas dunia (dan akhirat) yang dapat menyaingi perpustakaan riset di Eropa dan Amerika Serikat. Sangat banyak anggaran digunakan untuk membeli koleksi-koleksi manuskrip para ilmuwan Barat yang menjadi teman belajarnya atau kenalannya. Perpustakaan ISTAC pun menjadi salah satu perpustakaan Islam terpenting di Asia Tenggara!