Oleh: M. Risfan Sihaloho
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya
Ungkapan di atas disampaikan oleh Presiden pertama Indonesia Soekarno dalam pidatonya pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 1961 . Sebuah ungkapan yang sangat populer dan selalu dianggap relevan dikutip untuk jadi entry point di setiap perbincangan yang terkait dengan tema kepahlawanan.
Secara eksplisit, ungkapan tersebut menegaskan bahwa perihal menghargai jasa pahlawan adalah sebuah condition sine qua non, syarat mutlak bagi sebuah bangsa bila memang bangsa itu ingin menjadi sosok bangsa yang besar (the great nation).
Sebagai sebuah aforisma, tentunya ungkapan di atas bukan cuma sekedar untaian kata biasa. Galibnya, kita percaya sebuah pepatah itu pasti mengandung muatan pesan yang sarat dengan kearifan dan kebajikan. Cuma saja, masalahnya terkadang kita begitu naif dan tidak cukup cerdas untuk menangkap makna kontekstual dari pesan pepatah tersebut.
Adalah fakta yang tak terbantahkan, perihal menghargai pahlawan boleh jadi bangsa Indonesia adalah salah satu jagonya. Lebih dari seratus gelar Pahlawan Nasional telah disematkan kepada sosok yang dianggap berjasa sebagai pejuang bangsa di republik ini. Bahkan ada kecenderungan tiap tahun –setiap memperingati momentum Hari Pahlawan—daftar jumlah Pahlawan Nasional itu terus bertambah.
Namun tulisan ini sama sekali bukan ingin membahas soal tradisi penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tersebut. Penulis cuma ingin mengajak kita semua untuk memperbincangkan ikhwal kepahlawan dari sisi dan perspektif lain yang lebih substantif dan esensial.
Jika kita hubungkan dengan ungkapan yang menjadi awal tulisan ini, adalah ironis jika sampai hari ini makna korelasi pepatah tersebut tak kunjung terbukti. Meskipun negara ini cukup produktif dalam memberikan penghargaan kepahlawan, nyatanya hingga kini kita belum juga menjelma jadi “bangsa yang besar”.
Paradoksal ini agaknya perlu kita renungkan. Boleh jadi selama ini ada kekeliruan dalam menghayati dan memaknai arti kepahlawanan tersebut.
Memang benar, selama ini ada kecenderungan setiap kali memperingati momentum hari besar negara –termasuk Hari Pahlawan– kita sering kali terjebak dalam kedangkalan dan kebanalan dalam mengapresiasi.
Sepertinya yang kita lakukan tahun ke tahun agaknya hanyalah ritual-ritual seremonial pengenangan belaka. Tidak lebih.
Selalu kita sejenak menghening cipta untuk mengenang jasa pahlawan bangsa yang telah gugur, namun setelah itu nyatanya tak ada kesan yang membekas dalam diri kita yang mampu mengilhami kita untuk berbuat sesuatu, sesuai apa yang telah diperbuat oleh para sosok pahlawan yang dikenang tersebut.
Dan melulu bangsa ini setiap tahun terus menambah daftar pahlawan nasionalnya, tapi nyatanya tetap saja tak ada nilai signifikansinya untuk kebesaran bangsa.
Padahal, kalau mau dimaknai lebih arif lagi, sesungguhnya spirit kepahlawanan (heroisme) itu bukan cuma sekedar persoalan simbol dan atribut semata yang identik dengan romantisme masa lalu. Tidak cukup hanya berhenti pada apresiasi seremonial saja. Dan tidak signifikan juga tentunya hanya dengan menambah daftar pahlawan nasional setiap tahunnya.
Lebih dari itu, mestinya kita harus pahami bahwa kepahlawan itu juga adalah sebuah konsep dinamis tentang nilai-nilai keluhuran dan idealitas yang notabene selalu dibutuhkan kapanpun oleh sebuah bangsa untuk menjaga dan menjamin survivalitasnya.
Artinya, kisah pahlawan (epos) bukan hanya ada di masa lampau saja, tapi juga idealnya harus bisa tetap dimunculkan dan dilestarikan dalam narasi kekinian, bahkan untuk masa depan bangsa ini.
Dalam konteks kekinian, untuk mendapatkan nilai relevansi dari tradisi penghargaan terhadap jasa pahlawan tersebut, tentunya perlu dilakukan upaya reaktualisasi nilai-nilai kepahlawanan secara kontekstual.
Maksudnya, sudah saatnya kita memaknai ikhwal kepahlawanan itu lebih lentur lagi, di mana pahlawan itu bukan lagi melulu dipahami sebagai istilah historis-subjektif-personal an sich, yang khas melulu disematkan pada segelintir anak-anak bangsa pilihan yang dinilai pantas dinobatkan sebagai sosok pahlawan. Bukan sekedar itu.
Di sini, kepahlawanan lebih dipahami sebagai sebuah wujud konfigurasi mentalitas-kolektif seluruh elemen anak bangsa yang peduli dan menghargai nilai-nilai sejati kepahlawanan.
Secara konseptual, gagasan ini sangat mengidealkan agar seluruh anak bangsa dapat aktif menginternalisasi nilai-nilai luhur kepahlawanan dalam diri pribadinya dan kemudian bisa pula secara kreatif mengejawantahkannya dalam realitas kehidupan sosial berbangsa dan bernegaranya.
Jika kultur apresiasi kepahlawanan seperti ini benar-benar berkembang dan tumbuh-subur secara massif dan maksimal di tengah-tengah masyarakat bangsa, maka sebagai implikasinya, diharapkan akan melahirkan sebuah atribut mentalitas kepahlawan yang lebih determinan dan komunal, yakni dengan nama “Bangsa Pahlawan”, bukan “Pahlawan Bangsa”.
Terminologi “Bangsa Pahlawan” yang dimaksud di sini adalah sosok sebuah bangsa yang mayoritas warganya memiliki mentalitas dan etos kepahlawanan yang sangat menonjol, sehingga secara akumulatif mampu mengukuhkan dan menjastifikasi bangsa tersebut layak disebut sebagai “Bangsa Pahlawan”.
Adapun standar sebuah “Bangsa Pahlawan” adalah meniscayakan rakyatnya secara komunal selalu menempatkan kepentingan bangsa di atas segala kepentingan sektoral yang ada. Sehingga dengan demikian sangat dimungkinkan sosok bangsa pahlawan akan lebih kuat dan progresif mengantisipasi segala tantangan dan prahara yang melanda.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia, sudah pantaskah dikategorikan sebagai “Bangsa Pahlawan”?
Jawabannya, sepertinya belum. Tapi bukan tidak mungkin.
Bercermin dari potret kontemporer Indonesia yang buram dan carut-marut dewasa ini, justru sepertinya lebih pas bila Indonesia dikatakan sebagai “bangsa-pecundang”, di mana warganya cenderung lebih gemar memainkan lakon “pahlawan picik”, yakni menjadi pahlawan untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Sedangkan kepentingan bangsa selalu dinomorsekiankan.
Dan kiranya dapat diduga, inilah penyebab mengapa bangsa Indonesia tampaknya begitu sulit bangkit dari keterpurukan selama ini. Indonesia belum menjadi “Bangsa Pahlawan”, pahlawan untuk dirinya sendiri, apakah lagi pahlawan untuk dunia.
Kendati demikian, tentunya sebagai sebuah bangsa yang (katanya) berdaulat dan bermartabat, selayaknya kita pantas tetap optimis untuk bisa menjadi sosok “Bangsa Pahlawan”. Bangsa Indonesia punya potensi untuk itu.
Dan peringatan Hari Pahlawan tahun ini adalah salah satu momentum yang tepat untuk segera memulai mewujudkan obsesi tersebut. Kita harus optimis, dengan menjadi bangsa pahlawan kelak Indonesia akan mampu keluar dari aneka persoalan yang menderanya dan benar-benar menjadi “Bangsa yang Besar”. Semoga. (*)
Penulis adalah Pemred TAJDID.ID
Setuju