TAJDID.ID~Medan || mengatakan, Komisi Yudisial Republik Indonesia merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan kuat, karena lahir atas kekuatan konstitusi.
Demikian ditegaskan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Prof Dr Muhammad Arifin SH MHum saat tampil sebagai narasumber dalam Webinar “Kajian Akademik Optimalisasi Kewenangan Komisi Yudisial dalam Perubahan Regulasi Revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011” di Aula FH UMSU, Rabu (10/8/2022).
“Secara kelembagaan KY lahir atas dasar kekuatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Sejatinya untuk memberi kedudukan yang sebanding atau setara dengan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menjalankan fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman yang bermartabat dan profesional, KY harus berubah nama menjadi Mahkamah Yudisial (MY),” ujar Prof Arifin.
“Hanya saja, dalam amandemen UUD telah diberi nama dengan KY. Karena itu, bila namanya hendak dirubah harus terlebih dahulu melakukan perubahan atau amandemen atas UUD NRI Tahun 1945,” imbuh Wakil Rektor I UMSU ini.
Prof Arifin menjelaskan, secara konstitusional UUD NRI Tahun 1945 melalui Pasal 24B ayat (1) telah memberi atribusi kewenangan kepada KY untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
“Dari rumusan ini terlihat, bahwa kewenangan KY meliputi: pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan kedua, kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim,” kata Prof Arifin.
Beliau juga menjelaskan, ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 diimplementasikan pertama sekali dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 13 UUKY 2004 ini menjabarkan kewenangan KY: (a) mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR, dan (b) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Selanjutnya melalui Pasal 20 UUKY 2004 disebut, dalam melaksanakan wewenang yang dimaksud dalam Pasal 13 huruf b., KY memiliki tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku.
“Dengan demikian kewenangan KY meliputi juga melakukan pengawasan (menjaga perilaku hakim),” kata Prof Arifin.
Ia juga mengungkapkan, UUKY 2004 yang dimohonkan Judicial Review oleh 31 orang Hakim Agung, dan terkait pengawasan hakim, melalui putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 dipandang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Dengan putusan MK ini, kewenangan KY dalam melakukan pengawasan dianulir, termasuk pengawasan terhadap hakim konstitusi. Pengkerdilan atau penganuliran kewenangan KY dari bidang pengawasan ini berdampak signifikan terhadap fungsi pengawasan KY terhadap hakim. KY hanya dapat menerima laporan masyarakat dan tidak bisa menindaklanjuti laporan tersebut,” sebut Prof Arifin.
Kemudian ia menuturkan, kewenangan pengawasan KY Kembali berjalan dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal 32A UU No. 3 Tahun 2009 memuat ketentuan mengenai kewenangan KY sebagai pengawas eksternal dan MA sebagai pengawas internal atas perilaku tingkah laku hakim agung. Pengawasan yang dilakukan KY dan MA berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim yang ditetapkan KY dan MA.
“Tentu saja ketentuan ini menjadi dasar bagi KY dan MA untuk menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang dituangkan dalam bentuk keputusan Bersama,” jelasnya.
Selanjutnya, kata Prof Arifin, Kewenangan pengawasan KY diberi penguatan dengan keluarnya paket UU Badan Peradilan 2009 (UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Memerhatikan aturan yang terdapat dalam peket UU badan peradilan 2009, fungsi pengawasan terhadap perilaku atau tingkah laku hakim menjadi kewenangan MA secara internal dan KY secara eksternal.
Dalam kesempatan tersebut beliau juga menyampaikan perkembangan selanjutnya terjadi perubahan dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Dijelaskannya, dalam konteks kewenangan, Pasal 13 UUKY 2011 menyebut KY memiliki wewenang: (a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan (b) Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. (c) Menetapkan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim Bersama-sama dengan MA, dan (d) Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.(*)