Oleh: Siti Nur
Anis menatap bayangan dirinya di balik cermin, seulas senyum terpahat pada wajah berlesung pipi itu. Hijab besar yang menjuntai hingga ke lutut sesekali beriak kecil tertiup angin dari celah jendela kamarnya. Kata-kata Kak Iffah suatu sore, benar-benar telah menghapus seluruh keraguannya.
***
Baru saja Anis menginjakkan kaki di depan pintu, Kak Iffah sudah menyambutnya dengan muka masam.
“Mengapa jam segini kamu baru pulang?” cecar Kak Iffah.
“Kan, hari ini Anis latihan basket, Kak,” jawab Anis.
“Ini kan, Ramadhan, Nis. Apa kamu gak cape puasa sambil latihan?”
“Aduh, Kak, kalau mau marah nanti saja. Anis mau mandi dan ganti baju dulu,” sahut Anis sambil berlalu ke kamarnya.
“Nis … Anis!”
Anis tak mempedulikan lagi panggilan Kak Iffah, ia langsung menutup pintu kamarnya.
Setahun yang lalu, Kak Iffah mendapat amanah dari almarhum ayahnya untuk menjaga dan mendidik sang adik. Ibu mereka meninggal dunia ketika melahirkan Anis. Ayah telah menyesal terlalu memanjakan putri bungsunya, karena itu sebelum wafat, beliau sempat berwasiat kepada Kak Iffah agar mengubah sifat tomboy dan manja pada diri Anis.
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Anis duduk santai di teras belakang rumah sambil membaca novel remaja favoritnya. Kak Iffah menghampiri dan duduk di sampingnya, sambil meletakkan dua gelas teh dan sepiring kue.
“Kak Iffah!” Anis mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya.
“Iya, ada apa, Nis?” sahut Kak Iffah.
“Akhir-akhir ini setiap Anis pulang latihan basket, Kak Iffah selalu terlihat marah. Memangnya Anis tidak boleh pulang sore, ya, padahal sebelumnya Anis pulang dulu untuk berganti baju?” Pertanyaan Anis mengalir bagai air hujan.
“Kakak tidak marah, kok, kalau kamu pulang sore. Kakak hanya tidak suka kamu ikutan ekstrakurikuler basket,” jawab Kak Iffah.
“Memangnya kenapa, Kak?” tanya Anis heran.
“Anak cowok ikut latihan juga?” Kak Iffah balik bertanya.
“Iya, dong, Kak,” jawab Anis. “Jangan-jangan Kakak tidak suka teman cowok Anis, ya?” Anis mulai merasa curiga.
“Kok, kamu punya pikiran begitu?”
“Soalnya, seminggu yang lalu beberapa teman cowok Anis ke rumah buat jemput latihan basket, sejak itu juga sikap Kakak jadi berbeda.” Anis menatap Kak Iffah. “Apa iya gara-gara mereka, Kak?”
Kak Iffah menggeser letak duduknya agar lebih dekat kepada Anis.
“Benar sekali,” jawabnya.
“Kenapa begitu, Kak?” Gurat keheranan terpahat pada wajah Anis.
“Nis, Allah menganugerahkan keindahan pada diri seorang perempuan. Keindahan yang membuat bahasa tubuh maupun suaranya menjadi begitu memikat, baik saat berbicara, tersenyum, atau bergerak kian kemari, bahkan saat dia marah sekalipun. Banyak kasus pelecehan bermula dari seorang perempuan. Maka dari itu, sebagai perempuan kita harus bisa menjaga diri sebaik mungkin, menjaga dan merawat keindahan pemberian-Nya, agar tidak mengundang dosa dan malapetaka,” jelas Kak Iffah panjang lebar.
“Lalu … apa hubungannya semua itu dengan main basket, Kak?” Tampaknya Anis masih belum mengerti.
“Seperti yang Kakak katakan tadi, setiap gerak-gerik perempuan bisa membuat orang terpikat. Nah, sekarang coba bayangkan, kamu berada di lapangan basket!” Kak Iffah menatapa Anis serius.
“Wajahmu yang cantik, gerak-gerikmu yang mestinya anggun, terlihat lincah ketika mengejar dan melempar bola. Kalau Kakak laki-laki, tentu takkan bosan menatap wajamu,” katanya lagi.
“Ah, Kakak bisa aja.” Wajah Anis langsung memerah, jika sedikit saja hormon adrenalinnya naik.
“Ini bukan bercanda, Nis. Makanya Kakak tidak suka kalau kamu ikut ekstrakurikuler basket jika ada anak laki-laki yang ikut latihan atau sekadar menontonmu main di lapangan.”
Anis termenung. “Kalau seperti itu, sebagai perempuan kita harus gimana, Kak?” tanyanya.
Anis senang jadi pusat perhatian. Akan tetapi, ada perasaan tidak nyaman juga dalam dirinya, jika terus menerus dipandangi teman-teman laki-lakinya.
“Kita harus menjaga diri dan sikap sebaik-baiknya, termasuk juga pakaian.”
“Hm … memakai jilbab maksud Kakak?” tanya Anis ragu.
“Sebaiknya memang begitu, Nis. Agama kita mewajibkan perempuan menutup aurat dengan sempurna, maksudnya dengan pakaian longgar tidak membentuk lekuk tubuh.”
“Kalau memakai jilbab memang kelihatan rapi dan bersahaja, tapi ….”
“Tapi kenapa, Nis?”
“Kakak jangan marah, ya! Anis lihat perempuan yang memakai jilbab itu gak punya pacar, kalau begitu terus bisa-bisa kita gak dapat jodoh,” sahut Anis.
“Apa Anis lupa kalau jodoh itu urusan Allah?”
“Tapi, kan, kita harus berusaha. Kalau terlalu tertutup, mana ada cowok yang mengenal kita.”
“Allah sudah mengatur semuanya, Nis. Allah akan mempertemukan jodoh kita dengan cara yang telah ditentukan-Nya.”
Anis diam, menundukkan wajahnya.
“Kakak mau bertanya, apa Anis mau dicintai hanya karena wajahmu yang cantik, bukan karena hati yang baik?” tanya Kak Iffah.
“Tentu saja tidak, bagaimana kalau aku sudah tak cantik lagi, bisa-bisa ditinggalkan begitu saja.”
“Jangan khawatir!” Kak Iffah menangkap kegamangan Anis. “Sudah sewajarnya kumbang menyukai bunga, mereka akan datang tanpa diundang. Akan tetapi, kita harus bisa menjadi bunga yang baik kalau menginginkan kumbang yang baik juga.”
“Iya, Anis juga pernah mendengarnya. Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik.”
“Janji Allah tidak pernah salah, Nis. Apa lagi yang kamu ragukan?”
Anis manggut-manggut.”Jadi, Anis masih boleh ikut main basket kalau tidak ada anak laki-lakinya?”
“Kalau itu, kamu sendiri yang mengambil keputusannya,” ujar Kak Iffah sambil tersenyum dan membelai rambut Anis.
***
“Kak …!”
Anis terisak mengusap batu nisan tanda jasad kakaknya bersemayam kini. Ia teringat kembali, Kak Iffah sering merasa pusing dan cepat lelah, sedangkan dirinya hanya selalu merepotkan sang kakak, walaupun sekadar mendadar telur untuk sarapan. Kak Iffah tak pernah bercerita bahwa dirinya mengidap hipoglikemi atau gula darah yang terlalu rendah. Beberapa kali Kak Iffah jatuh sakit yang memerlukan istirahat total, Anis mengira kakaknya hanya terlampau lelah, melayani dirinya yang manja.
“Maafkan Anis.” Ia mengusap air bening yang menggantung di sudut matanya.
“Benar apa yang Kakak ucapkan tempo hari. Perempuan itu ibarat kaca yang berdebu, jika terlalu keras membersihkannya, ia akan retak dan pecah. Begitu pula jika dibirakan, debu itu semakin melekat dan sulit membersihkannya,” katanya lagi.
“Sekali lagi maafkan Anis, baru bisa berhijab ketika Kakak sudah tak ada lagi di dunia ini.”
“Pada Ramadhan kali ini, Anis bertekad tidak akan melepas jilbab besar ini walau sekadar menyapu halaman rumah. Anis juga berjanji akan menjadi anak dan adik yang baik, dengan senantiasa mengirimkan doa untuk Ayah, Ibu, dan Kakak di alam barzah sana,” gumam Anis.
Ia bangkit dari sisi pusara Kak Iffah, beringsut menghampiri dua nisan berdekatan, tempat ayah dan ibunya dimakamkan. Lama ia bergeming di sana, kemudian menatap langit yang kian menguning.
Anis mengusap nisan itu satu demi satu, sebelum bangkit dan meninggalkannya. Kemudian, ia menyalakan motor maticnya, untuk mengantar 100 porsi buka puasa ke panti yatim dan dhuafa di kotanya. (*)
17 April 2021.
Baca cerpen karya Siti Nur lainnya: