Oleh: Siti Nur
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”
Sejenak, aku menghentikan tilawah. Begitu makna al-Baqarah ayat 216, yang aku sering mendengarnya. Rupanya orang mengutipnya dari sini, sebagai pengobat hati saat harus mengakui satu hal yang membuatku membenci keadaan ini.
Aku menutup al-Quranku tanpa menyelesaikan sampai maqro, juga tanpa shadaqallah untuk mengakhirinya. Rasanya lidahku tak bisa membaca kalam Illahi itu dengan benar, tak ada lagi teguran saat aku salah melafalkan tajwid maupun makhraj. Semua tak lagi kudapat, semenjak orang itu diam dan tak bergerak sama sekali.
Katanya aku terlalu dini untuk mengerti semua ini, usia dua belas tahun terlalu kecil untuk memahami apa yang sedang terjadi. Orang dewasa mana yang mengerti perasaanku, bahwa aku sangat takut.
“Mifa, udah mengajinya?”
Aku menengadah, setelah membenamkan wajahku di samping orang yang saat ini masih tetap istiqomah dengan tidur panjangnya. Aku menatap wanita yang berdiri dekat tempat dudukku, lalu kembali menatap orang itu, yang wajahnya terhalang oleh intubasi yang menerobos tenggorokannya, padahal jika tak ada alat itu, ia begitu tampan.
“Makan dulu ya, Ayah menunggu di kantin, biar Kakak Bunda yang jaga!” bujuknya sambil mengelus kepalaku yang terbalut kerudung biru tua, warna favorit Kakak.
Aku mengangguk pelan dan meletakkan al-Quranku di atas meja, berat kakiku meninggalkan ruangan itu, ruangan dingin yang seminggu ini menjadi rumah kedua bagi kami.
* * *