TAJDID.ID-Medan || Akademisi Sosial Politik dari FISIP UMSU Medan Shohibul Anshor Siregar menilai penolakan atas rencana penganugerahan penghargaan Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden Joko Widodo kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon sama-sama terjadi dan sama kuat baik di kalangan “cebong” mau pun “kampret”.
“Dilatarbelakangi oleh perseteruan politik yang mengantar Indonesia ke alam perpecahan serius, kedua belah pihak jatuh ke kemerosotan nilai dan nalar demokrasi,” ujarnya di Medan (12/8/2020)
Dikatakatakan Koordinator n’BASIS (Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya), secara posesif cebong menganggap kalangannya sajalah yang pantas untuk penghargaan seperti itu, dan benar atau salah, kalangan ini pun merasa yakin bahwa Negara, apalagi pemerintahan, hanyalah milik mereka semata.
Mereka pun kukuh dalam pandangan bahwa penghargaan semulia itu amat tak pantas dianugerahkan kepada kalangan yang selama ini rajin memberi kritik kepada pemerintahan Jokowi.
“Sangkin awamnya dalam berdemokrasi kalangan ini malah menilai orang seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon adalah lokomotif terkemuka pembongkar aib Jokowi dan pemerintahannya,” jelasnya.
Sedangkan para kampret, lanjut Shohibul, menilai itu amat tidak perlu, karena pada dasarnya sebuah penghargaan adalah sesuatu yang bersifat suci dan murni. Tidak sembarangan orang, lembaga dan rezim, pantas mengeluarkannya.
Menurut Shohibul, kalangan ini bukan tidak sadar bahwa dari segi otoritas sebuah peristiwa penganugerahan penghargaan sesuai regulasi dan tradisi kenegaraan tidak mungkin disanggah. Namun akumulasi penilaian subjektif mereka terhadap pemerintahan selama ini dianggap jauh dari harapan pemeranan fungsi sesuai amanat konstitusi.
“Mereka malah khawatir pemerintahan gagal malah berusaha memanfaatkan kewenangannya mengkapitalisasi peristiwa ini untuk kepentingannya,” sebutnya.
Secara pribadi Ketua Lembaga Hikmah dan Kajian Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut menilai cenderung menyarankan baik Jokowi mau pun Fahri Hamzah dan Fadli Zon tidak terpengaruh atas kontroversi ala Cebong dan Kampret itu dan memilih jalan nurani masing-masing.
Ditegaskannya, memang lebih beresiko pada Jokowi jika rencana penganugerahan penghargaan yang sudah terberitakan secara luas itu akan gagal.
Sedangkan bagi Fahri Hamzah dan Fadli Zon, kata Shohibul, jika menolak penghargaan itu sepertinya akan jauh lebih menguntungkan. Kelak sejarah akan mencatat, keputusan mereka ‘menolak’ akan lebih terhormat ketimbang ‘menerima’ penghargaan itu.
“Artinya, jika menolak, maka publik akan menilai ada konsistensi pada kekritisan Fahri dan Fadli. Tapi kalau mereka terima, justru publik akan curiga mereka telah satu barisan dengan rezim penguasa yang sebelumnya mereka kritisi dengan keras, namun tak kunjung melakukan perbaikan,” tegas Shohibul
Jika menolak, kata Shohibul, mereka (Fahri dan Fadli-red) bisa merujuk pada sikap orang-orang yang pernah menolak penganugerahan penghormatan tertentu dengan alasan yang tidak main-main. Sekarang yang lebih dibutuhkan bangsa adalah aksi-aksi heroik yang otentik dan betul-betul menjadi tauladan bagi bangsa dan hal itu tidak selalu identik dengan penganugerahan penghargaan.
Shohibul menuturkan, seorang pemusik di Amerika, Bob Dylan, misalnya, dianugerahi penghargaan Nobel Sastra 2016 oleh Swedish Academy. Ia disebut tidak sopan dan arogan yang karena itu sang pelantun Blowin in the wind itu juga terancam kehilangan hadiah uang US$900 ribu. Padahal dialah tokoh satra pertama yang beroleh penganugerahan dari Swedish Academy.
“Bob Dylan juga dengan tegas tidak mau menghadiri sebuah pertemuan dengan Presiden AS Barack Obama di Gedung Putih yang secara khusus diselenggarakan untuk para pemenang Nobel yang berasal dari Amerika Serikat,” kata Shohibul.
Bob Dylan bukan hanya absen di acara yang digelar Obama, tetapi juga tidak mau menghadiri acara malam penganugerahaan yang digelar oleh Swedish Academy yang bermarkas di Stockholm, Swedia, itu. Secara formal, kata Shohibul, alasan yang dikemukakan Dylan adalah janji yang lebih dulu dibuat dengan pihak lain, dalam waktu yang bersamaan dengan malam penganugerahaan penghargaan Nobel itu.
“Alasan itu menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak begitu perduli dengan predikat Nobel Sastra yang dianugerahkan kepadanya,” jelasnya.
Kasus lain adalah aktivis lingkungan asal Swedia bernama Greta Thunberg. Shohibul mengungkapkan, Ia menolak penghargaan lingkungan yang dianugerahkan kepadanya dengan alasan bahwa gerakan iklim hanya membutuhkan orang-orang berkuasa mulai mendengarkan sains dan bukan penghargaan.
“Nordic Council, sebuah badan regional untuk kerja sama antarparlemen, pihak pemberi penghargaan itu, tidak bisa berbuat apa-apa,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo akan memberikan bintang tanda kehormatan kepada politikus Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Informasi bintang tanda jasa untuk Fahri Hamzah dan Fadli Zon ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melalui akun Twitter-nya, @mohmahfudmd, Senin (10/8/2020).
Fahri dan Fadli akan mendapatkan Bintang Mahaputra Nararya, yang akan diberikan dalam rangka peringatan HUT ke-75 RI.
Apa itu Bintang Mahaputera Nararya? Bintang Mahaputera Nararya Mengutip situs Kementerian Sekretariat Negara, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010, Bintang Mahaputera Nararya merupakan salah satu kelas dalam tanda kehormatan Bintang Mahaputera.
Tanda kehormatan merupakan penghargaan negara yang diberikan oleh Presiden kepada seeseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas darmabakti dan kesetiaan yang luar biasa terhadap bangsa dan negara. Tanda kehormatan ini dapat berupa Bintang, Satyalancana, dan Samkaryanugraha. (*)