Akan selalu ada dua pendapat tentang kondisi Indonesia pada setiap zaman dalam memaknai kemerdekaan. Pemerintah akan menunjukkan kita sudah mendekati cita-cita kemerdekaan. Namun yang lain tidak setuju.
Lantas, dimana letak perbedaan itu? Kepentingan. Pemerintah ingin legitimasi diperkuat. Rakyat ingin kesejahteraan ditingkatkan. Tanpa dusta.
Zaman Bung Karno ada penegasan “Tri Saksi”, yakni kedaulatan. tetapi dalam banyak hal ia tak konsisten. rakyat masih makan tiwul ia bangun simbol-simbol berbiaya besar seperti Monas dan lain-lain. Rakyat berontak, lalu dia pukul dengan kekerasan. Ia terus berteriak soal revolusi, padahal kelihatan dari hari ke hari ia sudah membantah revolusinya sendiri.
Orientasi growth dalam pembangunan dianggap sebuah paradigma terbaik dengan prasyarat keamanan (stabilitas). Maka berkicaulah Soeharto tentang tiga hal (a) stabilitas, (b) pertumbuhan (c) pemerataan. Kebohongan asumsi ekonomi ini selalu terbukti di semua tempat dan negara, tetapi selalu diagungkan.
Pergiliran dari Soeharto ke Habibie, Gus, dan Mega lebih merupakan konsolidasi yang diharuskan oleh paradigma baru yang hulunya dipegang orang lain. Muncullah pakem baru yang lebih menegaskan Indonesia hanya sebuah komoditi rebutan yang akan mengenyangkan para komprador.
SBY tukang konsolidasi demokrasi paling berhasil, namun catatannya hanya pada aspek prosedural belaka. Negara mengharamkan kaitan demokrasi dengan ekonomi. Demokrasi hanya urusan siapa yang akan dikukuhkan menjadi presiden, gubernur, bupati dan walikota. Hanya itu. Karena pentingnya perampasan kekuasaan, maka metodanya pun boleh serba rampok. Hukum tidak diperlukan.
Pada akhir masa jabatannya, ia pun bersandiwara: mengajukan rancangan perubahan pemilihan langsung kepala daerah menjadi pemilihan di legislatif. tetapi di akhir permainan, ia mentorpedo dengan perppu. Anehnya, kebobrokan pilkada jauh lebih rendah ketimbang kebobrokan pileg dan pilpres. Tetapi presiden ini tak melihat perlunya perombakan keseluruhan. Presiden ini pun tak faham, jika menilik Pancasila, maka satu-satunya pemilihan langsung di Indonesia adalah pemilihan legislatif.
Zaman Jokowi diagendakanlah pilkada serentak. lagi-lagi ini hanya berfikir tentang biaya lebih murah. aneh, Indonesia memilih sistem paling mahal, tetapi ingin biaya termurah.
Apa yang dapat dari pilkada serentak? Ini sebuah sandiwara lagi. Saat itu Golkar dan PPP dipersulit ikut main, tetapi demokrasi diagendakan jalan terus dan kini dengan sejuta masalah sudah dirancang demokrasi paling semu: tiada lawan harus diciptakan boneka dan legitimasi diberi boleh lewat bumbung kosong.
Jokowi adalah rezim penegasan neoliberalisasi. Ahli ekonomi sekelas Rizal Ramli menegaskan itu. Nawacita diajukan dalam retorika, tetapi tak demikian pelaksanaannya. saya berharap Jokowi dengan pemotongan sejumlah subsidi itu tak akan membesarkan radikalisasi yang akan menohoknya sendiri. tak pantas jadi presiden, menurut JK, akhirnya JK nya yang menjadi wapres. ini menjadi bukti lanjutan bahwa Indonesia tak lebih sebagai komoditi perebutan belaka.
Hal yang berbeda adalah Jokowi lebih ingin China yang menguasai ekonomi Indonesia. Itu terlihat dari kunjungan-kunjungannya ke luar negeri dan realisasi dari penawaran-penawaran yang diberikannya kepada China.
Saat MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) mulai dibelakukan 2015 adalah sebuah ladang pembantaian sadis. Kita menjadi budak di negeri sendiri. Negeri agraris yang selalu mengimpor beras tak bisa beroleh solusi dengan gonta-ganti kabinet. Lantas, seseorang pun berbisik, kalau presiden sendiri salah memilih kabinet dan karena itu cepat-cepat diganti, berarti rakyat lebih salah memilih Jokowi atau ada yang salah dalam sistem pemilunya yang membuat orang ini menjadi pemenang.
Penuhilah kebutuhan rakyat, bukan dengan retorika. Begitu besar daya tolak untuk kartu ajaib itu, tetapi mengapa masih dianggap jimat. itu menunjukkan bahwa pemerintahan tidak cukup nalar untuk mengetahui the root of the problems.(*)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU