M. Risfan Sihaloho, Pemred TAJDID.ID
Bila ditelisik lebih mendalam, ternyata antara partai dan faksi memiliki korelasi empiris dan historis.
Secara etimologis, istilah “partai” berasal dari bahasa Latin, yakni partire yang bermakana “membagi”. Dan konon, istilah partai juga merupakan hasil evolusi dari istilah “faksi”. Sekitar abad ke 15 di Eropa, istilah faksi memiliki konotasi yang negatif, yakni sebagai organisasi penghasut (agitatif) yang eksis berada dalam setiap bentuk organisasi politik.
Dalam bukunya “Rethinking Factionalism” (2009), Francoise Boucek membedakan tiga tipe faksionalisme, yaitu kooperatif, kompetitif, dan degeneratif.
Tipologi ini merujuk pada perilaku aktor-aktor di dalam partai, yang tidak sekadar meliputi proses dinamis pembelahan sub-sub kelompok di dalam partai, namun juga proses perubahan yang multi-faceted yang terjadi sebagai respon terhadap berbagai insentif.
Pertama, faksionalisme kooperatif. Tipe faksionalisme ini muncul jika ada kapasitas agregatif partai untuk memfasilitasi kerjasama antar berbagai kelompok di dalam partai. Berbagai faksi atas dasar pengelompokan militansi ideologis, primordial, ketokohan, dan lain sebagainya dapat mendinamisasi partai jika ada kepemimpinan yang berorientasi pada kesepakatan (consensus-building).
Kedua, faksionalisme kompetitif. Tipe ini akan terjadi ketika muncul perbedaan pendapat, konflik kepentingan, maupun perebutan jabatan-jabatan strategis di partai yang kemudian menghadirkan gaya politik sentrifugal dan fragmentasi yang semakin mengeraskan perkubuan di dalam partai. Jika tidak dikelola dengan baik, faksionalisasi ini dapat menggoyahkan stabilitas partai dan berujung melahirkan kebuntuan pembuatan keputusan (decisional stalemate) di partai.
Ketiga, faksionalisme degeneratif. Tipe ini terjadi ketika muncul banyak faksi yang berorientasi pada kepentingan kelompoknya semata dan beroperasi sebagai kanal untuk penyaluran patronase. Privatisasi faksi dan insentif ini tentu mendorong konflik internal yang parah dan dapat menjerumuskan partai pada perpecahan.
***
Dari ketiga wajah faksionalisme parpol di atas, penulis melihat apa yang dialami sejumlah partai politik di Indonesia sebenarnya berawal dari faksionalisme kompetitif yang masih bisa dianggap sebagai wujud dinamika internal sebuah parpol yang galib dan lumrah.
Namun ketika energi faksionalisme itu kemudian gagal dikelola dengan baik dan diperparah lagi dengan intervensi pihak luar, maka tipe ini lantas menjelma jadi faksionalisme degeneratif. Faksi pun kemudian berubah jadi friksi.
Lantas, jika kemudian nanti faksionalisasi parpol oposisi terus berlangsung, tentunya ini tidak “sehat” dan kontra-produktif buat kehidupan demokrasi di republik ini.
Memang benar, untuk menghadapi aneka persoalan bangsa yang begitu besar dan kompleks, di satu sisi negara ini memang sangat membutuhkan rezim pemerintahan yang “kuat” dan tidak gampak didikte. Namun di sisi lain tentunya negara ini juga membutuhkan pihak oposisi sebagai kekuatan “penyeimbang”, untuk memastikan roda pemerintahan berjalan di atas jalurnya yang benar. (*)