Oleh: M. Risfan Sihaloho
Harus dipahami, idealitas kontestasi dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sungguh tidak sepenuhnya bisa didapat saat khalayak pemilih (voter) mengeksekusi hak politiknya di bilik suara untuk memilih pemimpinnya. Sebelum itu, ada beberapa tahapan yang tak kalah penting untuk diperhatikan, yakni bagaima mencari, menyortir dan menetapkan calon pemimpin yang nantinya akan dipilih.
Calon kepala daerah terbaik tentu saja hanya akan munyumbul lewat proses penjaringan yang jujur, objektif dan adil, terutama oleh partai politik sebagai mesin produksi pemimpin politik. Dalam semua tahapan pra pemilihan tersebut, mestinya determinasi aspirasi rakyat sudah mulai dilibatkan dan mendapat peran, setidaknya sebagai referensi bagi para parpol untuk menentukan siapa bakal calon yang paling ideal untuk kemudian menjadi calon yang akan bertarung.
Namun yang berlaku selama ini tidak demikian. Kecenderungan yang terjadi adalah aspirasi rakyat sepertinya sengaja diabaikan dan nyaris tidak dilibatkan dalam rangkaian proses seleksi penetapan calon kepala daerah. Artinya, ada kesan cuma parpol saja yang punya wewenang dalam proses tersebut, aspirasi rakyat tak perlu dilibatkan.
Disinilah terlihat parpol menjelma jadi institusi demokrasi yang berlagak jadi tiran. Dengan penuh arogansi, parpol tak perduli apakah calon yang mereka tetapkan memang sudah cukup pantas dan selaras dengan keinginan aspirasi rakyat.
Jika demikian, lantas dimana letak kesejatian kedaulatan politik rakyat yang selalu diagungkan oleh demokrasi, jika dari awal sudah direduksi sedemikian rupa oleh tirani parpol ?
Selama ini ada anggapan, bahwa ketika pemilu sudah menerapkan sistem pemilihan langsung, berarti itu merupakan cerminan kedaulatan politik rakyat. Anggapan tersebut tentunya sangat keliru. Kendati sistem pilkada dilaksanakan adalah pemilihan langsung oleh rakyat, sesungguhnya belum cukup jadi jaminan kedaulatan rakyat telah diakomodir secara signifikan.
Dalam konteks pilkada, yang ada bukan cuma tirani parpol. Secara internal, di dalam tubuh parpol juga muncul “tirani hirarki parpol”. Misalnya pengurus parpol di tingkat daerah tidak memiliki wewenang untuk menentukan siapa calon yang akan diusung dalam pilkada. Yang memutuskan adalah pengurus pusat parpol yang berkedudukan di Jakarta.
Ironis memang, kalau mau objektif padahal pengurus partai di daerah pasti lebih mengenal dan paham dengan kondisi di wilayahnya. Karena itu mestinya mereka lebih pantas untuk memilih dan menentukan calon yang paling pas yang akan diusung, bukan mereka yang berada di pusat.
Tapi apa mau dikata, begitulah faktanya, tirani parpol sudah menjadi tradisi yang tak terbantahkan. Dan tradisi ini tentunya sangat kontradiktif dengan nilai dan prinsip dari demokrasi itu sendiri, dimana suara yang di bawah (hoi -polloi) idealnya harus lebih diutamakan ketimbang suara dari atas (elit).
Parahnya, disinyalir segala bentuk tirani parpol itu sebenarnya didasari oleh motif pragmatisme dan transaksionalisme politik belaka. Yang dilakun para elit parpol tak lain adalah berdagang “perahu”. Dalam konteks ini, bakal calon yang berani menawar paling tinggilah yang kemungkinan besar akan ditetapkan sebagai calon terpilih. Sebagai implikasinya, tak jarang calon terpilih tersebut adalah orang yang sebelumnya sama sekali tidak masuk nominasisi.
Besarnya hasrat pragmatisme parpol ini bisa dilihat sebagai implikasi dari identitas parpol yang bersifat non-profit oriented, sehingga tidak mampu berdikari menghidupi dirinya sendiri. Karena itu, dengan jatah waktu berkuasa yang relatif singkat, cuma lima tahun, parpol pun cenderung menuntut para anggotanya yang menjadi pengurus negara untuk “mengejar setoran”. Semua itu dilakukan demi kelangsungan hidup parpolnya. Atas dasar itu itu pula parpol terus memanfaatkan pengaruhnya untuk mendorong agar para anggotanya menduduki posisi-posisi strategis di legislatif, eksekutif dan bila perlu juga di yudikatif.
Yang lebih menggelikan lagi, belakan ini ada beberapa parpol yang berlagak idealis, berkoar-koar mengharamkan uang mahar dalam penentuan calon di pilkada. Secara empiris sepertinya sulit untuk mempercayai apa yang dikampanyekan oleh parpol tersebut. Karena sudah galib dan menjadi rahasia umum, bahwa di dalam kehidupan politik yang banal dan pragmatistik dewasa ini nyaris tak ada ruang yang dialokasikan untuk nilai-nilai ideal seperti kejujuran, ketulusan dan moral. Ditambah lagi ada sebuah adagium yang mengatakan, bahwa “tak ada makan siang yang gratis”.
Didukung Regulasi
Soal tirani parpol ini sesungguhnya bukan semata soal mentalitas. Ternyata selama ini keberadaan regulasi juga sangat mendukung untuk menciptakan tirani Parpol tersebut.
Seperti diketahui, semenjak era reformasi, amandemen UU Pemilu dan Parpol telah merubah “Kedaulatan Rakyat” menjadi “Kedaulatan Partai Politik”. Pasal 6 A ayat 2 dan pasal 22 E ayat 3 Batang Tubuh UUD 1945 dinyatakan bahwa untuk menjadi Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembuat peraturan dan pengawasan harus berasal dari Partai Politik.
Mengapa pengelola negara menjadi hak monopoli parpol? Bahkan para menteri dan jabatan eksekutif penting lainnya pun seolah-olah adalah hak tunggal parpol. Tak salah lagi, telah terjadi monopoli “hak politik” oleh parpol yang justru direstui oleh regulasi yang ada, sehingga untuk menentukan dan mencoraki konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini seakan-akan hanya menjadi hak parpol an sich.
Padahal komponen bangsa tidak hanya parpol. Sebagai contoh, “calon independen” sebagai bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat mestinya mendapat peluang yang sama dengan parpol. Tapi ironisnya regulasi dan aturan main yang dibuat oleh para politisi justru sepertinya (sengaja) dirancang menyulitkan calon independen bisa ikut berpartisipasi dalam hajatan Pilkada.
Maka diberbagai daerah muncul fenomena “calon tunggal” yang memicu polemik. Dengan penuh jumawa sebagian parpol menilai fenomena calon tunggal adalah sebuah keniscayaan dan merupakan kondisi alamiah yang tidak bisa ditolak, karena masyarakat sendirilah yang menghendakinya. Jelas ini persepsi yang keliru, karena telah mendikte dan mendahului proses elektoral yang terjadi berikutnya. Karena belum tentu calon tunggal itulah yang sebenarnya disukai rakyat. Tapi kalau disukai oleh parpol pengusung itu sudah pasti.
Parpol Tidak Punya Prinsip ?
Idealnya bahwa partai politik harusnya menjadi wadah untuk melakukan pendidikan politik dan menjadi tauladan bagi rakyat awam bagaimana berdemokrasi yang baik. Parpol juga harusnya menjadi inisiator sekaligus mobilisator dalam mengejawantahkan konsep-konsep politik dalam rangka mensejahterakan rakyat. Untuk itu Parpol dituntut untuk memiliki konsistensi ideologi dan prinsip.
Namun benarkah Parpol memiliki prinsip? Pertanyaan ini menggelitik untuk dikonfirmasi. Karena Alexis de Tocqueville, sejarawan dan pemikir politik Prancis pernah mengatakan, bahwa ada banyak orang yang punya prinsip di partai-partai politik di sebuah negara, tapi sesungguhnya tidak ada partai yang punya prinsip.
Begitulah, meskipun mungkin ada segelintir politisi yang masih memiliki idealisme dan prinsip, namun dapat dipastikan mereka itu tidak akan mampu mempengaruhi kekuatan mainstream dalam parpol yang hanya concern dalam perebutan dan mempertahankan kekuasaan.
Penutup
Bagaimanapun, tentunya tirani parpol dalam kehidupan demokrasi di negeri ini tak boleh terus dibiarkan makin merajalela, karena jelas itu sangat melecehkan nilai-nilai luhur demokrasi itu sendiri. Tirani parpol tersebut harus terus ditolak dan dilawan.
Sebagai rakyat mungkin tak banyak yang bisa kita perbuat untuk melawan tirani parpol tersebut. Namun setidaknya rakyat calon pemilih harus mulai membangun kesadaran dan kecerdasan untuk menyiasati kondisi ini. Tidak seperti parpol, rakyat justru harus punya idealisme dan prinsip untuk melawan hegemoni parpol tersebut.
Dan sebagai rakyat yang menginginkan kehidupan demokrasi yang lebih sehat dan adil, tentunya lahirnya putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 Mahkamah Konstitusi layak kita apresiasi. Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.
Lewat putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan mulai dari 6,5 hingga 10 persen.
Putusan yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah tersebut tentunya sebuah kabar baik bagi rakyat dan bisa jadi kabar yang tak menguntungkan bagi sebagian parpol.
Mudah-mudahan ke depan kehidupan demokrasi di republik ini semakin bermartabat dan lebih menghargai suara rakyat.(*)