Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Namanya saja sudah menantang. Memberontak. Mengoreksi. “Ummat.”
Dalam kamus kosa kata “ummat” itu sudah lama dirubah menjadi “umat”, dihilangkan satu huruf. Ini politik bahasa yang banyak mengorbankan kosa kata Melayu yang sudah diadaptasi lama sekali dari bahasa Arab Islam. Jarang orang menyadari masalah besar ini. Itu satu hal.
Pendiri partai ini Mohammad Amien Rais. Lokomotif reformasi. Siapa yang tidak tahu Amien Rais dan partai yang didirikannya, yang sejak tahun 1999 ikut pemilu dan pernah mengantarkannya menjadi Ketua MPR?
Dalam jabatannya yang baru diemban beberapa bulan saja pada Lembaga Tertinggi Negara (MPR, waktu itu lembaga ini memang disebut dan berfungsi demikian) itu, ia pernah dihadapkan dengan masalah pelik.
Presiden BJ Habibie akan segera berakhir masa jabatannya setelah selesai pelaksanaan pemilu. Pertanggungjawabannya sebagai mandataris pun ditolak pada Sidang Umum MPR yang digalang oleh kekuatan politik tertentu.
BJ Habibie berfikir mencari figur yang tepat untuk menggantikannya dan menggalang dukungan. Ternyata ia beroleh dukungan. Kini BJ Habibie tidak sendirian. Hampir semua petinggi pemerintahan waktu itu, di luar pengetahuan Amien Rais, telah bersepakat meminta kesediannya menjadi Presiden Republik Indonesia.
Tetapi ia menolak. Malah ia segera membentuk sebuah koalisi yang dinamai “Poros Tengah” yang terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Koalisi inilah yang berhasil mengusulkan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden ketiga. Pada tanggal 20 Oktober 1999 Gus Dur pun terpilih sebagai presiden dengan perolehan 373 suara, sedangkan Megawati hanya mendapatkan 313 suara.
Sebagai kompromi, Gus Dur meyakinkan Megawati untuk ikut dalam pemilihan wakil presiden, dan pada 21 Oktober 1999 Megawati terpilih sebagai wakil presiden perempuan pertama Indonesia. Megawati adalah Ketum PDIP dengan perolehan suara mayoritas pada pemilu (1999).
Ternyata Gus Dur tak mampu mengawetkan jabatannya, dan itulah yang menjadi jalan bagi Megawati menjadi Presiden setelah sebuah dekrit Gus Dur gagal menghempang arus perlawanan tak lama sebelum dimakzulkan.
Oh iya, tentu sangat bernilai untuk dikemukakan sekarang, di tengah gila titel dan jabatan akademik yang menghinggapi beberapa elit politik Indonesia yang sekaligus merendahkan martabat perguruan tinggi, institusi yang mengurusi dunia akademis ilmiyah dan ilmu pengetahuan itu sendiri, tentu saja. Ia adalah mantan guru besar dalam Ilmu Politik. Dari sebuah universitas tersohor di tanah air: Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Alumni dari kampus yang sama, kemudian belajar lagi untuk beroleh kepakaran dalam bidang keilmuannya di Amerika, Magister dan Doktor.
Di Universitas George Washington ia mengikuti program pascadoktoral tahun 1988-1989. Di Chicago University, Chicago, USA, ia beroleh gelar Ph.D dalam ilmu politik (1984). Ia pun pernah belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1981), dan Universitas Katolik Notre Dame, Indiana, AS (1974).
Pasca Kongres terakhir PAN, Amien keluar dari partai yang didirikannya itu. Jika ia mau, sebetulnya ia pun bisa mengabadikan jabatan puncak hingga ia meninggal kelak atau hingga partai itu bubar. Amien tak memilih cara itu. Baginya demokrasi itu pro sirkulasi kekuasaan.
Tetapi pada kenyataannya dengan tak menjadi Ketua Umum partai otoritas otomatis menjadi lemah. Akhirnya ia malah hanya menjadi semacam simbol belaka.
Selama era Jokowi, Amien selalu opposisional secara pemikiran meski tak memantangkan kadernya masuk dalam kabinet.
Saat pilpres 2019 lalu misalnya, menteri dari PAN, satu-satunya, mundur terhormat karena partainya mendukung Prabowo-Sandi.
Sebagai perbandingan, selama masa kepemimpinan SBY yang dua periode itu, Mega terus beroposisi dan tak seorang pun kadernya menjadi menteri.
Itu sebuah cara berhitung yang terbukti efektif membangun fanatisme pendukung terutama di akar rumput.
Usai pilpres 2019 semua partai mengevaluasi diri. Pendukung capres menang menanti jatah jabatan kementerian. Pendukung capres kalah mencari cara agar dengan tak jatuh air muka tetapi melakukan pendekatan agar tak dianggap musuh dan apalagi dapat diberi jatah menteri sekalius bermakna disertakan dalam koalisi nenentukan arah pemerintahan.
Memang tidak semua berpendirian sama. Ada partai yang sama sekali tak berminat, karena merasa partainya akan lebih sehat jika berada di luar pemerintahan. Mungkin itu pendirian PKS.
Gerbong kalah pilpres ini makin sunyi karena capres dan cawapres yang mereka dukung “minta suaka” kepada Jokowi dan diganjar jabatan menteri.
Makin sempurnalah kesepian mereka di tengah keterbelahan politik yang terus dipelihara.
Kongres terakhir PAN agaknya menjadi titik tolak baru yang tegas memecah Amien dengan semua yang berbeda pendapat dengannya dalam partai itu.
Susunan kepengurusan di bawah Ketum satu-satunya penjabat dua periode, tak berhasil meyakinkan Amien agar misalnya dengan atau tanpa memiliki jabatan dalam partai Amien tenteram saja.
Selain Ketum ada dua jabatan puncak prestisius dalam partai ini yang keduanya dijabat oleh mantan Ketum PAN masing-masing dari periode yang berbeda.
Semula orang tak begitu serius menanggapi isu akan didirikannya partai baru oleh Amien. Orang PAN tentu merasa ada ancaman serius karena bisa membelah kader dan berbagi paksa konstituen yang sama.
Orang tak lupa Amien adalah mantan Ketua PP Muhamadiyah dan direlakan keluar dari jabatan itu karena rencana mendirikan PAN.
Tidak dapat disangkal bahwa jejaring Muhammadiyah begitu besar andilnya dalam proses pendirian partai ini. Begitu pun dalam menyumbang suara pada setiap pemilu.
Akhirnya partai baru itu lahir dan sudah beroleh legalstatus berdasarkan verifikasi keberadaan sesuai regulasi. Siap bertarung untuk pemilu 2024.
Apa masalah khas Partai Ummat? Pertama tentu sumberdaya, baik insaniyah maupun yang lain, uang misalnya.
Siapa pun yang mendirikan partai saat ini tentu temannya separtai adalah tokoh yang sama yang sudah capek bersama yang lain berpartai dan kurang puas di sana atau kurang sukses.
Kedua, konstituen. Hanya jika ada sesuatu yang amat istimewa sekali yang diperhitungkan dapat membelokkan dukungan rakyat ke partai baru ini.
Lalu apa keistimewaan yang dipersembahkan Partai Ummat? Figur Amien Rais mungkin masih begitu anggun pada daerah dan segmen tertentu sehubungan dengan sejarahnya sebagai mantan Ketua PP Muhammadiyah pendiri PAN dan lokomotif reformasi.
Khususnya di lingkungan Muhammadiyah, hal ini akan sangat terasa.
Karena sifat partai, maka konstituen sasaran adalah pilahan umat yang selama ini mendukung PPP, PKS, PKB, PBB, Msyumi dan sesama pendatang baru, Gelora (pecahan dari PKS).
Seberapa anggun Partai Ummat untuk membelokkan dukungan dari partai-partai lama itu? Seberapa istimewa ia untuk menjadi pilihan di antara pendatang baru yang beririsan konstituen?
Memang melihat proses perolehan legitimasi sebagai partai peserta pemilu, Partai Ummat telah menunjukkan potensinya.
Tetapi, sama seperti partai keumatan lainnya, masalah klasik mereka ialah tak memiliki sumberdaya yang mencukupi untuk membiayai seluruh programnya.
Dalam pemilu transaksional tentu saja partai umat nan sabana umat mengharamkan uang sogok. Bagaimana ia bisa beroleh suara?
Untuk menjaga suaranya selama ini pun, hasil pemilu, pasca pencoblosan, banyak pengurus dan caleg partai keumatan yang tak mampu melakukannya. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut dan Koordinator n’BASIS