Tidak semua orang Indonesia setuju dengan sistem demokrasi. Penentangan terhadapnya bukan cuma muncul setelah era keterbukaan. Juga bukan setelah mengetahui produk buruk dari musim pilihan-pilihan langsung untuk rekrutmen berbagai figur untuk banyak jabatan penting yang tersedia dalam negara sesuai sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dengan mengabaikan fakta buruknya hasil demokrasi Indonesia, asumsi-asumsi demokrasi tidak boleh berhenti dikumandangkan setiap hari, termasuk ke telinga para pelaku jahatokrasi (penganut faham modus kejahatan sebagai kekuatan untuk meraih legitimasi) dan kaum si bolis na burju (para penjahat demokrasi yang berpura-pura baik hati antara lain dengan jurus money politic).
Pemerintah demokratis dijamin pasti lebih berhati-hati dan akan lebih memperhatikan kebutuhan publik. Pula, pemerintah seperti itu diyakini akan lebih mampu melindungi rakyat dari berbagai bentuk malapetaka, termasuk malapetaka ekonomi seperti kelaparan dan perang. Bandingkanlah misalnya bahwa sejak 1995, 10% penduduk Korea Utara mati kelaparan. Antara 1958-1961, 30 juta penduduk Cina mati kelaparan. Sejak 1947, di India tidak pernah terjadi kelaparan massal, walaupun ketika terjadi kegagalan panen (Mas’oed, 2008).
Agar tidak menjadi sesuatu yang musykil, apalagi dimitoskan, demokrasi itu pun perlu diurai sejelas-jelasnya dan dibahasakan kepada rakyat agar menjadi milik bersama. Betapapun sulitnya berbicara di tengah orang miskin yang senantiasa masih menantikan ”rezeki dari langit” menolong untuk mengganjal perut mereka yang lapar, agen-agen demokrasi harus selalu merasa wajib memasarkan ide dan ajaran demokrasi itu tanpa pamrih.
Agen demokrasi itu tak perlu harus terlebih dahulu menjadi Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri dan Presiden tau menjadi ketua partai untuk memulai bekerja demi kepentingan demokrasi.
Seorang agen demokrasi (Mas’oed, 2008) wajib mempertanyakan, apakah masih ada pengucilan bagi warga berdasar ras, etnik atau gender. Adakah wujud “pemisahan kekuasaan” atau hanya sekedar basa-basi dengan mekanisme berbagi kekuasaan belaka.
Benarkah jabatan politik penting diduduki hanya melalui pemilihan yang jujur dan adil. Adakah pemilu sudah terlaksana dengan luber, jujur sejujur-jujurnya dan adil seadil-adilnya. Apakah supremasi sipil sudah mengendalikan angkatan bersenjata. Benarkah konstitusi sudah menjamin pelaksanaan HAM.
Benarkah partai politik mau dan mampu memfasilitasi advokasi dan partisipasi politik rakyat. Benarkah badan-badan administratif pemerintahan dan jaringan-jaringannya berperan melayani kepentingan publik dan dipercayai oleh warga. Benarkah pemerintah daerah faham dan mampu mengelola dan menanggapi kebutuhan lokal. Benarkah civil society sudah aktif memberi supprot bagi pemerintahan.
Sejuta pertanyaan lainnya dapat diajukan untuk memunculkan wacana yang menyadarkan seluruh lapisan tentang taraf capaian demokrasi yang diperoleh. Parameter-parameter baku akan semakin mudah dirumuskan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis sedemikian itu.
Clientelism
Capaian demokrasi sebatas prosedural rutinitas keberkalaan tidak akan bersintuhan dengan pemaknaan penting atas kerakyatan dengan keperwakilan kepentingan (terutama) lapisan bawah. Ini bertalian sangat penting dengan hakekat perwujudan otonomi asosiasional yang menjadi space dan peluang bagi rakyat (terutama lapisan bawah) untuk mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan identitas sendiri tanpa takut akan dicampuri atau diganggu oleh pemerintah atau pihak-pihak yang kerap menjelma menjadi operator shadow state.
Dengan jujur kondisi demokrasi saat ini harus diakui masih berkisar pada praktek bahwa umumnya rakyat masih sekedar “client” belaka. Untuk menikmati sumber-daya yang dikuasai oleh negara, rakyat masih kerap harus mengorbankan hak artikulasi kepentingan secara otonom. Karena rakyat hanyalah client belaka, yang secara politik tersubordinasi, maka kerap pula tidak ada toleransi terhadapnya, dan tidak ada bargaining yg dimilikinya.
Ada baiknya memperbandingkan dua sistem yang bertentangan. Bahwa dalam otorianisme subordinasi politik itu selalu dipaksakan dengan ancaman hukuman bagi yang menentang. Sedangkan dalam demokrasi minimalis, “hukumannya” bisa berbentuk penutupan akses ke sumber-daya publik dan modus-modus lebih lunak lainnya. Dipastikan kedua-duanya tak menjadi pilihan bagi orang yang bermartabat, karena merugikan citizenship rights (hak-hak kewargaan), yakni status rakyat sebagai warganegara merdeka.
Ancaman serius citizenship rights. Pengalaman Orde Lama mungkin adalah sesuatu yang patut dipertimbangkan bilamana sejak orde baru ”voluntarisme” dalam urusan keparpolan mengalami kemerosotan luar biasa. Kemerosotan itu antar lain ditandai oleh intervensi negara dan peningkatan biaya yang sebagiannya berasal dari disubsidi pemerintah.
Catatan penting pasca 1998 di antaranya munculnya liberalisasi sistem politik yang menghasilkan lebih dari 100 parpol dan dengan sendirinya perongkosan untuk itu dirasakan semakin meningkat. Undang-undang dirancang untuk mewajibkan parpol peserta membuka cabang di seluruh derah provinsi/kabupaten/kota dengan persentase tertentu yang dengan sendirinya menambah lagi beban finansial.
Jika kemudian parpol bermetamorfosis sebagai mesin elektoral belaka bagi yang memiliki banyak uang, maka bantahan untuk itu sama sekali tidak mungkin karena fakta biaya setiap pilpres, pemilukada dan pemilu legislatif telah lebih dari cukup untuk itu. Jangan lupakan catatan pahit tentang penistaan dengan menukar suara dengan uang dan berbagai kejahatan yang dimaafkan (oleh sistem hukum) lainnya.
Akar masalah yang mencuat dari Banggar (DPR-RI dan lembaga serupa di seluruh derah), sebagimana diributkan belakangan ini, memang tak selalu bermuara pada keparpolan an sich, sebab orang-orang yang merasa sudah kehilangan banyak modal serta berniat menjadi kaya merasa timingnya tiba saat itu. Proses politik yang buruk ini mengakibatkan pemimpin terisolasi dan rakyat ter-asing dari proses politik. Ini ancaman serius terhadap cizenship rights.
Penutup
Proses juali-beli akses ke kekuasaan lazim dalam fenomena keparpolan kontemporer. Sinisme publik tak terhindari. Mengutip George orwell democracy depends on public confidence in language because the spoken word is the main tool of politics, Mas’oed (2008) merasa amat yakin mengatakan bahwa ketika publik yakin apa yang dikatakan politisi bukan yang sesungguhnya mereka inginkan, sinisisme terhadap politik berkembang. Mereka tidak lagi percaya pada nilai democractic citizenship.
Secara jujur pula harus diakui bahwa sistem politik yang dirancang egaliter telah dikotori oleh ketimpangan sosio-ekonomik yang mencolok dan semakin meluas pula. Oleh karena itu peran partai politik dalam mencerdaskan masyarakat dan menyalurkan aspirasi secara efektif masih sebatas wacana.
Tahukah Indonesia nilai demokrasi? Pasti tahu. Inilah fenomena khas masyarakat transisional yang oleh Fred W Riggs (Indiana University) disebut prismatic society (terkatung-katung).
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU