Oleh: Agus Sani
Kita hidup di zaman yang paradoksal: komunikasi makin canggih, tapi keterhubungan manusia makin rapuh. Di balik hiruk-pikuk transformasi digital, ada krisis yang senyap tapi nyata: organisasi dipenuhi manajer, tapi kekurangan pemimpin sejati. Fenomena ini tidak bisa diremehkan, karena kepemimpinan -bukan sekadar pengelolaan- adalah fondasi strategis yang menentukan keberhasilan organisasi, terlebih dalam menghadapi generasi baru dan lingkungan kerja yang serba digital.
Digitalisasi: Memudahkan Proses, Melemahkan Interaksi
Digitalisasi membawa efisiensi luar biasa. Rapat bisa dilakukan via layar, laporan bisa diawasi secara real-time, target bisa diukur dalam hitungan detik. Namun, bersamaan dengan itu, interaksi manusiawi semakin berkurang. Semakin banyak manajer yang “memimpin” lewat dashboard, bukan lewat dialog. Hubungan kerja jadi kering, datar, dan minim empati. Padahal, seperti yang diingatkan Simon Sinek, “People don’t care how much you know until they know how much you care.”. Di era digital ini, kepemimpinan yang hangat dan otentik justru makin dibutuhkan – karena teknologi bisa menggantikan fungsi manajerial, tapi tidak bisa menggantikan kehadiran manusia yang memimpin dengan hati.
Generasi Z: Tidak Bisa Dipimpin dengan Cara Lama
Generasi Z -yang kini masuk dunia kerja dalam jumlah besar- tumbuh dengan nilai-nilai yang sangat berbeda. Mereka tidak hanya ingin “bekerja”, tapi ingin bermakna. Mereka tidak mencari atasan yang otoriter, tapi pemimpin yang relevan, terbuka, dan mampu mendengarkan.
Laporan McKinsey (2022) menunjukkan bahwa Gen Z lebih memilih pemimpin yang kolaboratif daripada yang dominan. Mereka lebih menghargai coaching dibanding commanding, dan lebih memilih transparansi dibanding basa-basi birokrasi. Sayangnya, banyak manajer saat ini belum bertransformasi dari model instruksional ke gaya kepemimpinan yang memberdayakan. Akibatnya, gesekan antar generasi meningkat, retensi menurun, dan iklim kerja menjadi kaku.
Kepemimpinan Efektif Adalah Investasi Strategis
Dalam konteks manajemen strategis, kepemimpinan bukan sekadar pelengkap. Ia adalah pengungkit utama implementasi strategi. Pemimpin yang baik tidak hanya menjelaskan apa yang harus dilakukan, tapi mengapa itu penting. Mereka menciptakan konteks, menyatukan visi, dan menumbuhkan komitmen emosional dalam tim. Di tengah derasnya digitalisasi dan perubahan generasi, organisasi yang bertahan bukan yang paling canggih teknologinya, tapi yang paling kuat kepemimpinannya.
Dalam setiap organisasi yang bertahan dan tumbuh berkelanjutan, ada satu benang merah yang tak pernah absen: kepemimpinan yang efektif. Sayangnya, dalam praktik di lapangan, kepemimpinan kerap diperlakukan sebagai pelengkap jabatan, seolah akan tumbuh otomatis seiring naiknya posisi seseorang dalam struktur. Padahal dalam kerangka strategis modern, kepemimpinan bukanlah produk sampingan, melainkan elemen sentral yang harus dibangun, dirawat, dan disemai secara sadar. Ia layak disebut sebagai investasi—karena seperti investasi sejati, hasilnya tidak selalu tampak instan, tetapi akan menetap dalam budaya kerja, dalam loyalitas tim, dalam reputasi institusi.
Seorang pemimpin yang efektif meningkatkan retensi karena orang sejatinya tidak meninggalkan pekerjaan, mereka meninggalkan atasan yang buruk. Ia menumbuhkan inovasi karena menciptakan ruang aman untuk ide tumbuh dan gagal tanpa takut disalahkan. Ia menjaga arah strategis karena kepemimpinan adalah jembatan antara visi dan aksi, antara rencana dan makna.
Di tengah laju digitalisasi yang masif, organisasi makin riskan berubah menjadi sistem yang kaku -penuh metrik, data, dan dashboard, namun kehilangan rasa. Di sinilah peran pemimpin menjadi vital: mengembalikan wajah manusia dalam mesin organisasi, menjadi suara yang hangat dalam ekosistem yang semakin otomatis. Tanpa pemimpin yang hadir secara emosional, strategi hanyalah slogan dan rencana hanyalah ritual. Kepemimpinan yang efektif justru paling teruji bukan dalam kondisi normal, melainkan saat krisis menerpa. Ketika prosedur gagal menenangkan dan sistem tak mampu menuntun, maka kehadiran seorang pemimpin sebagai jangkar menjadi penentu arah. Kepemimpinan yang kuat tidak hanya menggerakkan roda organisasi, tetapi menghidupkan semangat mereka yang mendorong roda itu setiap hari.
Karena itu, organisasi masa depan bukan hanya memerlukan teknologi canggih atau sistem kerja yang ramping, tetapi pemimpin-pemimpin yang sadar bahwa perannya bukan sekadar mengatur, melainkan menyatukan. Kepemimpinan bukan beban administratif, ia adalah bekal strategis paling otentik. Di tangan pemimpin yang tepat, perubahan bukan lagi ancaman, melainkan peluang untuk tumbuh lebih bernilai dan bermakna.
Manajer Bisa Ditunjuk, Pemimpin Harus Dibentuk
Struktur organisasi bisa menunjuk seseorang sebagai manajer. Tapi kepemimpinan hanya hadir bila seseorang mau melayani, mendengar, dan menjadi teladan. Di era yang semakin terdigitalisasi, kepemimpinan yang manusiawi justru menjadi diferensiasi. Generasi Z dan digitalisasi menuntut model kepemimpinan baru yang Lebih dialogis daripada instruktif, Lebih kolaboratif daripada hierarkis, dan Lebih memberdayakan daripada mengendalikan
Penutup: Saatnya Menata Ulang Kepemimpinan
Tantangan organisasi hari ini bukan hanya soal efisiensi atau inovasi teknologi. Ia soal membangun hubungan, menyemai kepercayaan, dan menumbuhkan semangat kolektif di tengah dinginnya layar dan data. Sudah waktunya kita menata ulang pemahaman tentang kepemimpinan.Karena pada akhirnya Manajer bisa mengatur pekerjaan, tapi hanya pemimpin yang mampu menggerakkan manusia. (*)
Penulis adalah Dosen FEB UMSU, fokus pada penelitian bidang Manajemen Strategik pada Perspektif Perilaku, Digitalisasi dan Bisnis Sosial.