TAJDID.ID~Medan || Pakar Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr Rudianto mengungkapkan, ada pergeseran paradigma hubungan teknologi dengan media massa.
“Dulu teknologi digunakan media dianggap jadi penentu kehidupan. Sekarang justru berbalik, malah kini giliran media massa yang sepertinya akan menghadapi problem besar disebabkan perkembangan teknologi,” ujarnya ketika menjadi salah satu narasumber Seminar Nasional “Media Sehat untuk Rakyat di Era Digital” dalam rangkain peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Kampus UMSU, Rabu (8/2/2023).
Rudianto menjelaskan, pada tahun 60 an, di tengah dunia media massa mendapatkan teknologi yang canggih, Marshal Mc Luhan menerbitkan sejumlah karya, diantaranya. The Gutenberg Galaxy (1962), Understanding Media (1964, The Medium is the Massage (1967). Di dalam karya-karyanya tersebut Mc Luhan mengatakan karena teknologilah ummat manusia akan berubah cara hidupnya.
“Teringat dengan pendapat Mc Luhan tersebut, justru sekarang ini saya melihat kebalikannya, bahwa karena teknologilah media terseok-seok dan menentukan masa depan media massa,” sebut Wakil Rektor III UMSU ini.
Karena perkembangan teknologi, tak dapat dihindari industri media, khususnya media cetak, berada di ambang jurang kepunahan.
“Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaiman sebuah koran besar nasional seperti Republika yag terbit sejak taun 1993 akhirnya “punah” tidak terbit lagi sejak awal tahun 2023, menyusul sejumlah media nasional lainnya yang duluan tumbang. Tentunya kita ikut berduka dengan kondisi ini,” tuturnya.
Namun meskipun demikian, Rudianto masih tetap mengutarakan optimisme sembari menyampaikan sebuah kitipan dari lembaga penelitian Tow Centre Colombia School of Journalism pada tahun 2014. Kutipan tersebut berbunyi; “the journalism industry is dead, but journalism exist in many place”.
Bonus Demografi dan Peran Gen Z
Selanjutnya, Rudianto mengatakan, ternyata bonus demografi di Indonesia ikut mempengaruhi gaya hidup dan cara penggunaan teknologi, terutama yang berkaitan dengan tegnologi informasi.
Mengutip data yang dirilis Meltwater, Rudianto membeberkan, bahwa sekarang Gen Z (usia 13 sampai dengan 44 tahun) itu jumlahnya lebih dari 50 persen penduduk Indonesia, dan sisanya yang berumur 45 tahun ke atas jumlahnya berkisar 30 sampai 40 persen.
Dikatakannya, ada realitas yang menggembirakan, bahwa ketika Gen Z menggunakan teknologi yang di cari di google searches itu ternyata luar biasa positif.
“Ternyata yang paling banyak diakses oleh Gen Z adalah Translate, belajar bahasa Inggris, dan sebagainya. Tak ada yang aneh-aneh. Artinya, mereka ingin belajar sesuatu yang baru. Tentunya ini realitas yang menggembirakan kita, terlebih bila dikaitkan dengan media sehat di era digital,” ujarnya.
“Sekali lagi, kecenderungan ini menunjukkan Gen Z Indonesia itu menyenangi sesuatu yang sehat,” imbuhnya.
Kemudian Rudianto menjelaskan norma dan ciri khas dari Gen Z, seperti freedom, customization, scurtinity, integrity, collaboration, entertainment, speed dan innovation.
Dari norma-norma yang dimiliki Gen Z itu, Rudianto optimis hal-hal negatif seperti hoaks bisa akan hilang jika Gen Z menguasai dunia digital di negeri ini.
Selanjutnya, Rudianto menyinggung soal prediksi media massa di tahun 2023. Mengutip hasil riset lembaga riset Deloitte dari Belanda, ia mengungkapkan sejumlah perkiraan masa depan media massa.
Pertama, masih adanya optimisme industri jurnalistik akan berusaha mati-matian untuk bertahan dengan tradisionalisme jurnalistiknya.
Kedua, berita akan dikonsumsi secara tidak langsung lewat multi platform.
Ketiga, Konten akan diproduksi oleh atificial intelegensia.
Keempat, meningkatnya tekanan terhadap inovasi bisnis media massa.
Kelima, Disinformasi meningkat, berita berkualitas dibutuhkan.
Dan kelima, tekanan sosial pada jurnalisme akan semakin meningkat
Determinasi Big Tech dan Jurnalisme Data
Kemudian Rudianto mengungkapkan tren terkini perkembangan media di era digital. Dikatakannya, sekarang ini potret media di dunia itu sangat coraki oleh fenomena Big Tech dan Jurnalisme data yang dipelopori dan disponsori Google dengan mensubsisdi media-media mainstream di seluruh dunia agar bisa bertahan dan tetap tumbuh di tengah terpaan serta ancaman perkembangan teknologi.
“Namun, , pada tahun 2018 ada konferensi di Italia yang membeberkan temuan mengejutkan yang menyebutkan bahwa ternyata Google itu tidak sedang mengajarkan media-media mainstream bagaimana untuk bertahan. Tapi temuannya adalah dengan uang itu Google sedang mengakuisisi atau mengambilalih media-media mainstrean di seluruh dunia itu agar menjadi bagian dari Big Tech,” ungkapnya.
“Technology Company itu dengan uangnya bisa leluasa semaunya melakukan apa saja, termasuk mengendalikan media-media mainstream,” imbuhnya.
Hal yang lebih krusial lagi, lanjut Rudianto, apa yang ditemukan dalam konferensi itu implikasinya bukan cuma pada media massa, tapi semua sisi kehidupan kemudian menjadi bagian dari Big Tech yang dikendalikan oleh technology company, termasuk dunia perguruan tinggi.
“Contohnya, sekarang ini perguruan tinggi akan cukup resah jika peringkat Webometricsnya anjlok, karena webometriks juga merupakan bagian kerjaan dari technology company,” kata Rudianto.
Namun, meskipun demikian, Rudianto menilai fenomena ini tidak bermakan buruk saja, ada juga sisi positifnya. Dikatakannya, banyak sisi positif dari fenomena big tech dan big data yang bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan.
Peran Perguruan Tinggi
Pertanyaan selanjutnya, kata Rudianto, apakah kita tidak bisa menghindar atau lari dari cengkraman dominasi teknologi digital itu?
“Saya kira kita tidak bisa menghindarinya. Kita justru bagian tak terpisahkan dari teknologi itu dan hidup dengan teknologi itu,” tegasnya.
“Sekarang bagaiman langkah kita kedepan. Tentu dunia pendidikan akan mengambil peran untuk itu. Kita harus menghasilkan SDM jurnalisme masa depan yang dapat diandalkan untuk menyiasati tantangan tersebut, dan ini tanggungjawab perguruan tinggi,” tambahnya.
Rudianto mengingatkan, Hari Pers Nasional tidak boleh meninggalkan perguruan tinggi sebagai wadah pencetak jurnalisme masa depan.
Dijelaskannya, sosok jurnalis masa depan itu adalah mereka yang menguasai data dan mampu mengelola statistik. “Karena semua akan ditampilkan dalam bentuk jurnalisme data,” ujarnya.
Selain itu, jurnalis masa depan juga harus mengerti dan memahami siapa audiensnya serta memiliki kompetensi yang komplit.
“Perguruan tinggi harus mampu mencetak SDM jurnalis masa depan yang jago mendisain, memproduksi, mengkoding dan sebagainya,” kata Rudianto.
Bukan cuma itu, jurnalis masa depan harus menguasai storytelling dan project manajemen. Jurnalis masa depan juga harus memiliki open mind.
“Jangan terjebak dengan romantisme kesuksesan media di masa lampau,” jelasnya.
Terakhir, Rudianto menyebut jurnalis masa depan itu harus memiliki softskill berupa publik -persona. (*)