Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Dengan menyertakan beberapa link pemberitaan terkait, seorang jurnalis meminta tanggapan saya atas pertanyaannya sebagai berikut:
Pertama, “Kapoldasu yang baru yang menyatakan berantas narkoba. Apakah pernyataan Kapoldasu tersebut hanya lips service belaka (janji manis) sebagai pejabat baru. Apa tanggapan Anda?”
Kedua, “Disinyalir sindikat narkoba jalan jermal XV (Medan) telah melibatkan beberapa oknum aparat penegak Hukum(APH). Sehingga operasional penggerebekan hanya sebatas menangkap pemakai kelas bawah semata. Sementara, bandar/boss besarnya tidak pernah tersentuh. Padahal domisili boss besar tersebut ada di seputaran lokasi peredaran narkoba tersebut. Dari investigasi di lapangan diketahui beredaran 1 kg sabu/ hari dgn omset milliaran rupiah. Bayangkan 1 kg sabu bisa mengorban generasi muda sebanyak 4000 orang. Tanggapan Anda?”
Tentulah kebenaran isi berita yang link-nya ia sampaikan kepada saya menjadi sesuatu informasi baru bagi saya dan saya tentu tidak memiliki cukup waktu untuk mengetahui kebenarannya. Karena itu saya memberi jawaban berdasarkan hasil-hasil analisis yang saya tulis dalam beberapa artikel pada situs http://nbasis.wordpress.com.
Raja-raja dan toke-toke narkoba di Indonesia beroleh rumah nyaman bagai surga dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Memang, kelembagaan yang dibentuk dengan tujuan untuk perang melawan narkoba terus bertumbuh dan berkembang. Begitu juga biaya operasional yang terusa berkembang.
Tetapi, mengherankan, pertumbuhan dan perkembangan kelembagaan dan anggaran itu sekaligus juga diikuti oleh pertumbuhan dan perkembangan kompleksitas permasalahan narkoba.
Semua ini menunjukkan bahwa kelumpuhan kelembagaan sudah lama terjadi dalam pemberantasan narkoba di Indonesia meski selalu diglorifikasi ungkapan-ungkapan herois perlawanan terhadap narkoba yang terkadang memang diikuti oleh tindakan-tindakan sporadis yang sama sekali tak berarti. Mengapa bisa demikian:
Pertama, ada ketidak-jelasan filosofi dari upaya perang melawan narkoba di Indonesia. Jika dibandingkan masa pemerintahan Nixon di Amerika, ada kemiripan. Perburuan atas kurcaci memang terus dilakukan dan capaian-capaian kecil itu terus diglorifikasi melalui media. Namun, sebagaimana policy Nixon beberpaa dasawarsa lalu, para gembong tidak pernah tersentuh.
Kita ingat Presiden Filipina, Duterte, yang mengamuk. Setelah pelantikannya ia berucap tegas:
“Sesiapa yang merasa dirinya gembong narkoba, segeralah bertobat dan melapor. Saya tahu data kalian. Jika membangkan, saya akan bunuh kalian. Wahai rakyat Filipina, tolong bantu saya: lawan mereka. Jika kalian diganggu oleh pengedar narkoba itu, segera laporkan dan saya akan secepat kilat hadir dengan kekuatan penuh negara”.
Ribuan toke narkoba dibunuh dan Barat bereaksi dengan alasan pelanggaran HAM. Duterte tegar dan berucap “ Saya lebih peduli dengan rakyat Filipina yang nyaris tak tertolong lagi jika terus diasupi narkoba oleh para toke dan pengedar narkoba yang dari sisi tertentu dapat dinyatakan tak lain adalah pelaku pelanggaran HAM berat”.
Presiden Jokowi pernah menegaskan Indonesi darurat narkoba. Tetapi tidak ada langkah kedaruratan untuk itu sebagaimana dicontohkan oleh Duterte. Paradoksnya Indonesia terus membanggakan proyeksi bonus demografi, padahal jika dengan kemudahan akses terhadap narkoba itu rakyat (terutama generasi muda) sudah menjadi budak narkoba, proyeksi bonus demografi itu menjadi angan-angan tak berdasar.
Kedua, tidak ada langkah darurat untuk kedaruratan Narkoba di Indonesia. Padahal harus ada langkah besar bersifat kedaruratan, sebagaimana Duterte lakukan di Filipina. Basisnya harus mempertimbangkan faktor supply dan demand.
Supply: jika sebuah negeri telah menjadi budak narkoba, saat supply (pasokan bahan) distop, maka konsumsi narkoba akan menurun drastis.
Demand: Seberapa besar pun demand (permintaan) sesuai taraf kecanduan nasional Indonesia atas narkoba, itu akan tereduksi secara tajam jika supply dihentikan.
Pertanyaannya siapa yang mampu menghentikan supply? Bukan rakyat. Karena itu kita membentuk pemerintahan yang jika dirujuk pada konstitusi ialah pemerintahan yang menjamin Indonesia terbebas dari segala bentuk penjajahan (termasuk penjajahan narkoba), melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut aktif dalam diplomasi internasional untuk perdamaian abadi.
Orang akan berapologi bahwa Indonesia adalah negeri dengan bibir pantai terpanjang nomor dua di seluruh dunia yang karena itu sulit menangkal masuknya narkoba dari luar negeri. Apologi itu sama sekali tidak dapat diterima.
Terkait dengan langkah Kapoldasu yang baru, disarankan agar mengembangkan siasat tajam tidak menohok simptoma (gejala) melainkan berburu akar masalah. Akar masalah adalah kemaharajalelaan raja-raja dan toke-toke narkoba (akar masalah). Bukan maraknya pengguna yang menjadi korban (simptoma).
Saya berharap Kapoldasu tegar dan berani untuk panggilan ibu pertiwi menyelamatkan masyarakat khususnya generasi millenial dari ancaman kepunahan sumberdaya dan modal sosial karena dijajah narkoba. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU