Memukul Doa di Ruang Demokrasi
Karya : Nandy Pratama
Kurayakan opini yang sedang menari
Mengakhiri lolongan dari erangan kebahagiaan
Kumabukkan ucapanmu.
Tepat sejak kau layangkan kata termanismu
Apa gunanya rasi bintang di Jakarta ; bila ia tak mampu mengajari akal untuk berpikir
Apa gunanya otak bila kata-kataku sering dihalang dan ditenggelamkan dalam perasaan yang seringkali menyesatkan
Mungkinkah rasaku telah disemai oleh bangsa asing
Menyalakan kesuksesan di bawah kepedihan yang membara
Perlu kau tahu ; kini bukan aku saja yang berorasi
Bukan aku saja yang bernyanyi ; bukan aku saja yang menangis
Seringkali ku bermimpi tentang bagaimana jarak bisa menyatukan pelukan
Pelukan-pelukan yang tidaklah hanya sebuah tamparan untukmu
Di saat lelapnya tidurmu hanya menjadi penderitaan untukku dan untuk mereka
Bagaimana, tidak ?
ketukan palu demokrasi seakan-akan menjadi liar dalam percakapan yang entah harus kemana kuadukan
Pada palungku pula frasa UU Cipta Kerja seakan-akan ingin menolak getir kekosongan
yang menumbuhkan pertikaiaan menjadi gosong dalam isian kata “ kamu harus kerja 18 jam dalam seminggu “
banyak pasang mata yang seringkali bertanya-tanya “ mengapa banyak janji dalam pisau ?”
mengapa ada dusta kala aku dan mereka ingin pulang
menyelamatkan keluarga dari rasa kerinduan yang terus-terusan dibentak oleh waktu
Ternate, 04 Agustus 2023