Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Mengapa pilihan pendekatan kombinasi demand side dan supply side dalam perang melawan narkoba 100 persen dapat dipastikan sebagai bukti permissiveness dan ketidakberdayaan negara?
Pertarungan dua pendekatan (demand side dan supply side) dalam perang terhadap narkoba dengan hasil akhir yang lebih menonjolkan pendekatan yang mengkombinasikan kedua pendekatan telah lama berlangsung. Hal yang pasti hasil kerja kombinasi pendekatan demand side dan supply side tidak pernah memuaskan karena sama sekali tidak berani menyasar akar masalah.
Dengan tegas harus dikatakan bahwa pendekatan kombinasi ini sama sekali bukan pilihan, melainkan hanya menunjukkan permissiveness belaka, kalau bukan ketidakberdayaan negara atas dikte para mafia narkoba, yang dengan demikian akar masalah sama sekali tidak pernah terselesaikan.
Gagasan melibatkan korban narkoba (pengguna) dalam latihan militer dan memobilisasinya pada sektor pertanian adalah salah satu contoh pengarusutamaan pendekatan kombinasi itu. Pada zaman kolonial para pecandu dibuatkan rumah-rumah khusus yang menggambarkan semacam Upaya isolasi. Memang pemerintah kolonial waktu itu tentu sangat tergiur dengan hasil perdagangan narkoba, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam.
Baca juga:
Diprediksi hasil dari rencana ini akan sia-sia. Bayangkan, usai latihan militer, peserta akan kembali ke rumah masing-masing yang diduga lingkungannya tidak lagi sebagai tempat yang aman bagi siapa saja dari bahaya narkoba.
Bahkan di lokasi pertanian sekali pun (katakanlah di Papua) para pecandu itu masih akan potensial beroleh supply dan melanjutkan kebiasaan kecanduannya, sebagaimana lembaga pemasyarakatan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, ternyata tidak pernah bisa dibersihkan dari pengendalian perdagangan dan peredaran narkoba.
Lembaga Pemasyarakatan itu kerangkeng tembok dan besi, dengan pengawalan petugas hukum yang bertanggung jawab kepada negara. Malah tak jarang orang-orang lapas itu terlibat, karena kecanggihan penyelundupan narkoba ke dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dijaga ketat, selama ini memang dibiarkan sebagai mitos belaka.
Selain itu, baik sektor militer maupun sektor pertanian, bukanlah sektor-sektor sia-sia dalam sebuah negara, yang bahkan sama sekali tak dapat disepelekan seperti cara pandang Yusril Ihza Mahendra itu.
Yusril Ihza Mahendra perlu diberitahu, bahwa korban narkoba yang dilibatkan dalam latihan militer akhirnya akan dapat sangat mengancam, karena tidak ada jaminan mereka berhenti dari kecanduan. Bagaimana jika keterampilan militer yang diperolehnya itu akan digunakan dalam perdagangan dan peredaran narkoba? Negara akan semakin terancam melebihi massifikasi bahaya narkoba hari ini.
Perencanaan yang dikemukakan Yusril Ihza Mahendra ini juga sangat gagal paham tentang kenyataan bahwa pengguna narkoba memiliki kemungkinan bakat cemerlang yang sama sekali tidak terkait dengan pertanian.
Tentu saja Yusril Ihza Mahendra tak perlu ikut skenario lama menyerahkan kebijakan pertanian ke pihak tak kompeten seperti Kementerian Pertahanan semasa pemerintahan Joko Widodo. Saya yakin organisasi pangan dunia (FAO) akan mengeritik keras Yusril Ihza Mahendra atas kesepelean cara pandangnya atas food security dunia yang tiap hari tambah mencemaskan.
Saran saya, kembalilah ke akar masalah. Tidak perlu harus dalam kapasitas sebagai presiden sepeeti Duterte di Filipina, Yusril Ihza Mahendra dapat mengendalikan perang melawan Narkoba di Indonesia dengan memastikan pendekatan supply side. Nihilkan supply. Indonesia tak perlu keluar biaya untuk rehabilitasi dan dengan sendirinya dengan menolkan supply akan memastikan reduksi tajam sumber-sumber permasalahan kemiskinan, berbagai modus kejahatan dan keadilan sosial serta kualitas penegakan hukum. (*)
Penulis Dosen FISIP UMSU Medan