TAJDID.ID~Yogyakarta || Rektor Universitas Widya Mataram (UWM), Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc mengatakan, keberadaan oligarki bisa terjadi dalam berbagai bentuk pemerintahan, termasuk dalam pemerintah yang secara formal demokratis.
“Oligarki umumnya terjadi untuk mengamankan kekayaan dari sekelompok elit ekonomi-politik, yang diikuti dengan upaya untuk dapat berkuasa atau mengatur kekuasaan yang ada,” ujar Prof Edy Halaqah AWM Mingguan yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting dan channel youtube Abdul Wahid Maktub pada Jumat (4/8).
Acara ini disaksikan oleh lebih dari 100 orang yang hadir secara daring. Acara ini diikuti beberapa tokoh seperti Rektor Universitas Paramadina Prof Didiek J Rachbini, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Prof Imam Suprayogo, Guru Besar UGM Prof Gunawan Sumodiningrat dan beberapa Rektor serta mantan Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Dijelaskannya, para oligarki di semua kasus yang dipelajari diperkuat oleh kekayaan dan sangat memusatkan perhatian pada pertahanan kekayaan, dan mereka mempertahankan kekayaan lewat berbagai cara dalam berbagai konteks.
“Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan upaya melindungi kepentingan terkait dengan kekayaan, maka oligarki tidak harus selalu berkuasa, namun bisa mengatur kekuasaan untuk mengamankan berbagai kepentingannya,” katanya.
Lebih lanjut, Prof Edy Suandi Hamid mengatakan, bahwa oligarki bisa memanfaatkan sumber daya politik yang dikuasainya, akibatnya, Oligarki Ekonomi – Politik terjadi yang kemudian melahirkan beragam kebijakan yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, serta tidak optimalnya pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk bangsa.
“Situasi seperti ini juga terjadi di Indonesia, sehingga perlu ada langka revolutif untuk dapat mengurai problema yang ada, sehingga Indonesia tidak tersandera oleh berbagai masalah ekonomi-politik besar yang laten melekat pada negeri ini,” ungkapnya.
Kekuasaan Indonesia pun tercengkram oleh para oligarki ekonomi dan politik. “Oligark politik tercermin pada partai-partai besar yang dikendalikan keluarga, dan atau kelompok kecil orang yang ada di dalamnya,” sebutnya.
“Dari sisi ekonomi, penguasaan aset-aset ekonomi pada segelintir orang, sangatlah kasat mata. Bagaimana para konglomerat, atau oknum penguasa, menguasai lahan-lahan perkebunan, pertambangan, tanah-tanah di perkotaan atau tempat-tempat wisata,” imbuh mantan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) ini.
Bukan cuma itu, berbagai sektor industri juga dikuasai para oligopolis dengan concentration ratio (CR) yang sangat tinggi. Investasi sektor riel dan moneter juga dikuasai oleh sedikit usaha-usaha besar dan konglomerat.
“Penguasaan moneter, yang mencerminkan ketimpangan kepemilikan dana masyarakat juga terlihat dari komposisi tabungan masyarakat di perbankan, di mana terlihat nilai tabungan yang besar (misalnya di atas Rp satu milyar) terkonsentrasi pada sebagian kecil penabung/deposan,” tegas mantan Ketua Forum Rektor ini.
Sementara itu, Dr. Abdul Wahid Maktub dalam pemaparan materinya mengungkapkan bahwa teori demokrasi yang dinamis, didasarkan pada tantangan terhadap kekuasaan elit yang terus-menerus.
“Jika selalu ada segelintir orang yang berkuasa, maka demokrasi harus dipahami sebagai gerakan yang terus menerus menantang kekuasaan tersebut,” kata mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Qatar ini. (*)
Kontributor: Humas@UWM