Yang Barat
Pasca perang dunia kedua, kapitalisme barat (baca; Eropa dan Amerika) berupaya untuk terus-menerus mendisain dan mengintervensi bentuk pengetahuan masyarakat dunia, khususnya negara-negara dunia ketiga. Kebenaran atas pengetahuan seolah-olah hanya datang dari mereka; jika ingin menjadi negara maju dan modern maka ikutilah strategi mereka termasuk dalam menyusun ilmu pengetahuan. Universitas didirikan, kurikulum disusun sedemikian rupa dengan mengikuti kehendak modernis; yaitu menyandarkan filsafat logika dan filsafat etika pada standart kapitalisme barat.
Mewajibkan publikasi internasional pada jurnal terindeks scopus menjadi satu contoh kekinian bahwa kita masih bersandar dengan apa yang menjadi standart barat. Seolah reputasi intelektualitas dari karya penelitian akan mendapatkan pengakuan jika berhasil publis pada jurnal internasional yang diklasifikasikan bereputasi semisal pada jurnal-jurnal yang terindeks scopus. Padahal dalam beberapa kasus banyak jurnal yang terindeks scopus justru kebobolan karena salah melakukan validasi atas karya-karya tulis hasil dari replikasi. Itulah yang terekam dalam laporan investigas Harian Kompas yang berjudul; Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Ilmiah, di mana pada laporan tersebut dikatakan terdapat calon guru besar yang melakukan replikasi pada karya tulis skripsi atau tesis mahasiswa yang mereka bimbing.
Belajar dari kasus-kasus ini tentu kita dapat menyimpulkan bahwa publisher jurnal yang “bereputasi” ternyata tidak secara utuh berhasil memproduksi karya-karya yang bereputasi. Institusi publisher mempunyai keterbatasan dalam melihat karya. Mereka hanya menilai karya secara verbatim berdasarkan kaidah-kaidah yang telah mereka tetapkan. Penilaian dengan cara verbatim ini tentu tidak dapat menemukan subtansi dari reputasi yang sesungguhnya, karena ia akan sangat bergantung pada nilai dan sikap pribadi seorang peneliti/akademisi. Menyandarkan reputasi hanya pada publisher jurnal tentu satu keselahan, sebab orang-orang seperti Greertz, Booke dan Anderson memiliki karya yang bermutu tanpa harus mempublikasinya pada jurnal yang bereputasi; kecuali jika mereka mau menjadi profesor di Indonesia, pasti akan ditanya apakah sudah ada publikasi pada jurnal terindeks scopus? Ah!
Penutup
Januari 1992, seorang Serbia-Amerika bernama Steve Tesich menulis artikel berjudul “A Government of Lies” di majalah The Nation. Artikel ini membahas tentang skandal Pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Richard Nixon yang kemudian disebut Tesich dengan istilah “Sindrom Watergate”. Sejak kejadian skandal tersebut menurut Tesich, masyarakat Amerika Serikat mulai berlindung dari kebenaran. Setelah mundurnya Presidan Nixon dan diganti oleh Gerald Ford, masyarakat Amerika Serikat mulai memaafkan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Nixon. Hanya saja menurut Tesich, sikap memaafkan ini yang justru menjadikan masyarakat Amerika mulai menyamakan kebenaran dengan berita buruk sehingga mereka tidak menginginkan adanya berita buruk lagi meski itu adalah fakta kebenaran.
Baca Artikel Terkait:
Rentetan peristiwa berikutnya juga terjadi, skandal penjualan senjata ke Iran yang dilakukan oleh Presiden Reagan tanpa persetujuan Senat dan sandiwara Perang Teluk Pertama, semakin mempertegas kenyataan bahwa banyak Masyarakat Amerika membutuhkan sensor pers untuk menutupi kebenaran yang mereka anggap perlu dengan alasan kepentingan nasional. Mereka hanya melihat apa yang dianggap mereka penting untuk dilihat tanpa memikirkan apa yang salah dengan hal tersebut. Rentetan perstiwa inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Amerika memasuki fase baru yang kenal saat ini dengan istilah “post-truth”. Nah, anehnya kita saat ini justru menyandarkan pengakuan atas reputasi akademik kepada satu community yang justru paling gemar menyembunyikan kebenaran.
Seolah tanpa legitimasi Barat (Eropa-Amerika) reputasi kita tidak bisa menginternasional. Padahal bisa jadi, kumpulan artikel dari laporan penelitian kita justru bisa menjadi data base bagi mereka untuk melihat situasi sosial, politik dan ekonomi bangsa ini. Bukankah itu dapat menjadi satu ancaman bagi pertahanan kita? Tanpa membayar, mereka bisa mendapatkan data dinamika sosial masyarakat kita secara gratis. Ah, sukurnya beberapa data tersebut juga hasil replikasi dari laporan penelitian yang dilaksanakan dibalik meja. Dan mereka para pengelola jurnal yang (katanya) bereputasi itu ternyata bisa juga ditipu. Sial! (*)
Penulis adalah Doktor Studi Pembangunan dan Dosen di Lingkungan FISIP UMSU