TAJDID.ID-Medan || Baru-baru ini sebuah skandal akademik mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Seorang profesor Indonesia tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan di kalangan akademik di Malaysia. Kabarnya, sang profesor mencatut nama-nama staf akademik sebuah universitas di Malaysia dalam publikasinya di banyak jurnal.
Sialnya, para akademik di Malaysia ini tidak pernah bekerja sama dengan sang profesor. Mereka juga tidak pernah dihubungi. Nama mereka ditempel sebagai pengarang (co-author) dalam berbagai jurnal.
Diketahui, Sang profesor merupakan profesor termuda ke-4, di lingkungan Dikti, memang pernah mengunjungi universitas di Malaysia tersebut. Namun dalam kunjungan tersebut ia tidak mengajak para akademik tersebut untuk menulis bersama di jurnal. Dia hanya menjajagi kemungkinan kerjasama antar universitas.
Yang lebih mengejutkan lagi, Sang profesor pun rupanya juga sangat produktif. Untuk tahun 2024 ini saja, dia sudah menerbitkan 160 judul karya! Seratus enam puluh! Padahal tahun ini baru berlalu sekitar 105 hari.
Menanggapi skandal yang memalukan tersebut, sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mengatakan, sang prof itu adalah model akademisi pragmatis yang mengabaikan etika dan hanyut dalam arus neoliberalisasi dunia pendidikan.
“Ya, yang bersangkutan adalah adakah sosok dosen pragmatis yang mengabaikan etika dan mungkin tak begitu berpikir panjang dalam mengikuti arus neoliberalisasi dalam dunia pendidikan,” ujar Shohibul, Kamis (18/4/2024).
Shohibul meyakini, sang profesor tak sendirian dalam jeratan yang membahayakan dunia pendidikan itu.
“Artinya dosen yang luar biasa ini hanyalah ibarat puncak gunung es. Dia menggambarkan perikeadaan banyak dosen yang merasa senasib dengannya dan pula merasa penting melakukan terobosan,” ungkapnya.
“Dia pun mungkin sangat sadar, jika artikel yang apalagi wajib terbit scopus untuk mekanisme survival of the fittest itu, secara teknis amat mudah disiasati. Mengapa? Sebetulnya, berdasarkan pengalaman empirisnya, jurnal yang ada kebanyakan bukan lembaga ilmiah atau hanya quacy ilmiah karena tujuannya cuma menjawab how to make much more and more money,” imbuhnya.
Mendikbudristek Harus Bertanggungjawab
Karena itu, Shohibul berpendapat, Menteri yang membidangi masalah ini (Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan teknologi-red) wajib ditegur untuk merombak kebijakan tentang publikasi ilmiah yang selama ini menyandera dunia akademik Indonesia sebagai jajahan tak berdaya.
“Kepadanya wajib ditegaskan bahwa kadar keilmiahan sebuah karya tulis tak harus dimaknai tak ditulis dalam bahasa Indonesia,” tegasnya.
Bukan cuma itu, kata Shohibul, juga harus diberitahu kepada Mendikbud Ristek bahwa kedaulatan suatu bangsa juga terletak pada bahasa. Ia tak boleh merasa rendah diri sebagai orang yang lahir di Indonesia dengan bahasa pertama Indonesia.
“Harus ada yang meminta pertanggung jawabannya atas perintah imperatif UU yang mewajibkan memajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Ilmu pengetahuan,” ujar Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut ini.
“Kepadanya mungkin perlu disimulasikan bahwa penduduk dengan jumlah terbesar ke 4 di dunia berhak dipandang bermartabat karena penduduknya berbahasa Indonesia,” tambahnya.
Dengan kasus yang mewakili tragedi industri karya ilmiah abad 21 ini, Shohibul berharap menteri yang tugas pokoknya terkait dengan masalah ini mampu menyadari, bersedia malu dan membangkitkan tekad untuk membayar utang-utang budaya yang tak terkira besarnya secara kualitatif dan kuantitatif.
“Berpikir, berencana dan berbuatlah secara substantif agar tak terjebak dalam gimmick dagelan zaman,” ujar Shohibul.
“Jika ada yang berniat menggugat menteri ini di pengadilan, saya ingin ucapkan terimakasih karena dengan begitu bisa berharap ia mulai belajar filsafat yang jika merasa tak mampu lebih baik disuruh mundur,” pungkasnya. (*)