Politik Pembenaran
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun determinasi negara terhadap kebenaran politik sudah berkurang sedemikian rupa, sesungguhnya bukan berarti syahwat penguasa untuk menguasai kebenaran politik mengalami stagnasi.
Seperti yang terlihat belakangan ini, sebenarnya gelagat hasrat pihak penguasa untuk menguasai kebenaran politik masih cukup besar. Namun masalahnya, rezim penguasa di zaman reformasi tidak menguasai kebenaran politik dengan cara kursif seperti yang dipraktikkan oleh rezim penguasa orba. Oleh karenanya pilihan yang paling efektif diambil penguasa adalah dengan cara memaksimalkan hegemoni kekuasaan yang dimilikinya.
Dalam konteks hegemoni, pihak penguasa dengan segenap instrumen kekuasaannya dituntut mampu lebih moderat untuk “memaksakan” versi kebenaran politiknya.
Politik Kebenaran
Jika kebenaran politik begitu musykil untuk dipercaya, maka sesungguhnya masih ada bentuk representasi lain yang justru penting untuk selalu diperjuangkan dan ditradisikan, yakni “politik kebenaran”. Apa itu politik kebenaran?
Secara sederhana, politik kebenaran itu dapat diartikan dengan politik ketulusan. Artinya, politik dan kekuasan harus selalu dijalankan dengan etos ketulusan dalam rangka memperjuangkan kemaslahatan bersama (bonum commune). Seorang politisi atau penguas yang menganut ideologi politik kebenaran akan senantiasa menjadikan dunia politik dan kekuasaan sebagai instrumen perjuangan untuk mewujudkan kebenaran dan kebaikan.
Dalam konteks kehidupan bernegara, secara konseptual kebenaran itu adalah nilai-nilai ideal yang telah disusun dan dirumuskan dalam dasar negara.
Di Indonesia, konsep aksioma kebenaran itu tak lain terkandung dalam Pancasila dan UUD1945. Keduanya menjadi postulat dan standar rujukan kebenaran bagi segenap komponen bangsa yang harus senantiasa diamalkan dalam kehidupan bernegara.
Akan tetapi, sepertinya bagi politisi hal ini bukanlah sesuatu yang mudah dan menguntungkan untuk dilakukan dalam kultur politik pragmatis. Karena dunia politik adalah kumpulan fakta dan realitas yang syarat kebohongan dan kemunafikan. Seperti pernah diungkapkan George RR Martin dalam bukunya “A Clash of Kings” (1998); “orang sering mengklaim rasa lapar akan kebenaran, tapi jarang menyukai rasa itu saat disajikan“.
Dan perlu dipahami, politik kebenaran tidak sama dengan politik pembenaran. Politik kebenaran adalah bentuk praksis dari tradisi politik adiluhung (high politic), sedangkan politik pembenaran merupakan praktik politik murahan (low-politic) yang ditujukan untuk membenarkan perilaku busuk politik.
Penutup
Boleh jadi, bagi sebagian orang gagasan politik kebenaran mungkin dianggap sebagai sesuatu yang utopis dan tidak realistik. Namun meskipun demikian, jangan sampai hal itu membuat kita pesimis dan melemahkan iktikad kita untuk terus berusaha menyirami konstelasi dunia politik kita yang begitu kering-kerontang dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan ketulusan.
Kita berharap masih ada —walaupun segelintir – politisi di negeri ini yang masih memiliki hati yang bersih untuk ikhlas memperjuangkan politik kebenaran dan punya nyali untuk mengatakan seperti yang pernah dinyatakan oleh Umar bin Khattab; “Jika ada seribu orang yang membela kebenaran, aku berada diantaranya. Jika ada seratus orang yang membela kebenaran, aku berada diantaranya. Jika ada sepuluh orang pembela kebenaran, aku tetap ada di barisan itu. Dan jika hanya ada satu orang yang tetap membela kebenaran, maka akulah orangnya.”. Semoga (*)