Oleh: M. Risfan Sihaloho
Sudah menjadi kecenderungan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap menjelang pelaksanaan hajatan Pemilihan Umum (pemilu), termasuk Pilkada, maka biasanya kesibukan akan menghampiri setiap pelaku dan pemain politik, baik itu sebagai pihak penyelenggara maupun para kontestan yang akan bertarung.
Pihak Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) biasanya akan menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat teknis-prosedural terkait penyelenggaraan Pemilu. Sementara Partai Politik (Parpol) maupun para aktor politik akan mulai mengatur langkah dan menyusun strategi untuk menghadapi keras, kejam dan kotornya medan peperangan politik yang akan mereka lakoni.
Karenanya sangat penting bagi mereka untuk mempersiapkan segala sesuatu yang bisa memungkinkan mereka untuk memenangkan pertarungan politik dan merebut kekuasaan, mulai dari kesiapan amunisi (dana) hingga strategi manuver, trik maupun intrik.
Para aktor politik pada umumnya sudah menyadari betul bahwa dunia politik adalah dunia yang sangat rasional. Mereka sudah sangat paham bahwa mereka adalah sosok pemburu yang harus sigap menaklukan belantara dunia politik yang penuh dengan rintangan dan tantangan.
Dalam benak mereka cuma ada satu tujuan, yakni bagaimana menjinakkan dan menangkap buruannya yang tak lain adalah “suara rakyat”. Semakin banyak buruan yang berhasil mereka tangkap dan jinakkan, maka makin besar peluang mereka untuk mendapat kekuasaan.
Menyadari hal itu, maka para aktor politik akan menggunakan dan bahkan bisa jadi menghalalkan segala cara mengajak orang lain yang belum sepaham atau belum yakin pada ide-ide yang di tawarkan agar bersedia bergabung dan mendukungnya dalam pemilu.
Maka yang terjadi kemudian, para aktor politik seakan berlomba menampilkan citra (image) sesuai dengan harapan konstituen yang akan menjadi voter dalam pemilu. Mulai dari merekayasa citra sesuai isu persoalan yang dipilih, merancang pesan dan simbol yang diperlukan, serta merencanakan pemanfaatan media. Semuanya untuk mengusahakan agar citra para kontestan melekat kuat dalam memori dan imaji serta alam bawah sadar (subsconscious) para calon pemilih.
Biasanya, untuk melakukan itu semua para kontestan tidak bekerja sendiri, mereka memanfaatkan konsultan kampanye (electioneer) profesional untuk mengemas atau merekayasa citra. Para electioneer ini tidak hanya direkrut dari dalam negeri, banyak partai politik mapan dan besar yang menggunakan konsultan dari mancanegara.
Menurut Dedy Nur Hidayat, ketua program pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia dalam Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu (2004), kelompok electioneer profesional inilah yang sebenarnya berperan sebagai elit kekuasaan baru dalam proses mengonstruksi salah satu elemen penting budaya berdemokrasi di tanah air. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dunia politik kontemporer sangat menggantungkan dirinya pada keberadaan teknologi pencitraan (kampanye, iklan, publikasi) dalam membentuk pencitraan politik dan politisi.
Fenomena ini kemudian menimbulkan hiper-realitas dalam politik. Yaitu merujuk pada realitas artifisial yang telah terdistorsi. Istilah hiper-realitas pertama kali digunakan oleh Jean Baudrillard, seorang sosiolog Prancis, dalam bukunya “In the Shadow of the Silent Majorities” (1983), untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna didalam media.
Dalam bukunya Transpolitika (2005), Yasraf Amir Pilliang menyebut hiper-realitas sebagai penciptaan realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realitas kedua (second hand reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri. Hiper-realitas, menurut Pilliang, tampil seperti realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial, yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sehingga, pada tingkat tertentu, ia tampak (dipercaya) sebagai lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya.
Dengan demikian, dalam pandangan Pilliang, hiper-realitas menciptakan sebuah kondisi, yang didalamnya citra dianggap sebagai “realitas”, kesemuan dianggap kenyataan, kepalsuan dianggap kebenaran, isu lebih dipercaya dari ketimbang informasi dan rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Di dalam keadaan hiperealitas ini, kita tidak sadar lagi bahwa apa yang kita lihat sebagai suatu kenyataan tersebut sebetulnya adalah konstruksi atau rekayasa realitas.
Model kampanye seperti inilah yang kini sedang dikembangkan di Indonesia pasca reformasi. Yaitu sebuah model kampanye yang lebih menekankan pada citra dan simulasi ketimbang realitas, dimana rekayasa citra individu kontestan menjadi lebih penting daripada platform dan isu yang diperjuangkan partai.
Sebagai implikasinya, hal ini pada akhirnya menimbulkan aspek-aspek yang berdampak pada rekayasa citra untuk mengemas ‘politisi busuk’. Dengan metode hiper-realitas, para ‘politisi busuk’ bisa dipasarkan dalam kemasan seorang pahlawan dari masa lalu yang tidak berhubungan sama sekali dengan masa kini. Bukan hal yang sulit seorang politisi yang dikategorikan ‘busuk’, dengan bantuan electioneer profesional, dapat menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya.
Sementara sebaliknya, mereka merekayasa citra diri, dengan menampilkan pesona yang memikat, yang dapat menggerakkan massa untuk dengan sukarela mengangkatnya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa bagi bangsa dan negara.
Akhirnya, publik awam politik pun tidak bisa lagi membedakan antara politisi busuk yang telah menggerogoti keuangan negara untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya, dan pahlawan yang telah mengorbankan dirinya dan kelompoknya untuk bangsa dan negara.
Begitulah, hiper-realitas politik mewarnai dengan sangat pekat kehidupan politik di dalam era reformasi. Kita melihat di media massa terjadinya sebuah pertarungan citra antar partai politik atau antar aktor-aktor politik untuk merebut simpati masyarakat. Melalui iklan ataupun publikasi, mereka memperebutkan citra untuk tampil memukau di depan publik, tentunya dengan menyembunyikan realitas yang sesungguhnya.
Lihatlah, bagaimana seorang yang sudah nyata-nyata sebagai terdakwa masih melenggang ikut dalam pertarungan memeperebutkan kekuasaan. Begitu juga, ada aktor politik yang cacat secara moral, dikarenakan pernah melakukan tindak pidana korupsi misalnya, masih cukup “pede” (percaya diri” maju dan berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat yang sudah pernah dikhianatinya.
Demikian pula yang dilakukan oleh para pejabat yang berkuasa (incumbent). Menjelang pemilu, kita melihat sebuah situasi dimana para pejabat pemerintah berlomba mepublikasikan “keberhasilan” mereka , melalui iklan baik di media cetak ataupun elektronik. Seolah mereka ingin merekayasa citra diri mereka sebagai pejabat publik yang telah berhasil memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Meskipun, lagi-lagi, dengan cara menyembunyikan realitas yang sesungguhnya. Karena bagi masyarakat, pemerintah telah gagal, setidaknya dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan standar kehidupan masyarakat yang semakin rendah. Dengan demikian yang ditampilkan oleh mereka sebagai “keberhasilan-keberhasilan” bukan lagi “realitas” tetapi merupakan “hiper-realitas”.
Jika kita masih percaya demokrasi adalah salahsatu jalan bangsa ini untuk hidup lebih bermartabat, maka Inilah yang seharusnya menjadi bahan pemikiran dan perenungan kita bersama. Kita harus optimis, bagaimana kedepan kita bisa menciptakan sebuah realitas politik yang bebas dari kepalsuan aktor-aktor yang hanya menjadikan lembaga politik sebagai tempat persinggahan untuk sekedar merealisasikan kepentingan pribadi atau kelompok.
Mungkin tak banyak yang bisa kita lakukan. Namun satu hal yang bisa kita lakukan adalah mensosialisasikan kepada masyarakat di tingkat akar rumput (grass root) tentang pentingnya bersikap kritis dalam menjatuhkan pilihan politik ketika pemilu. Intinya, jangan lagi mau ditipu untuk memilih para penipu. (*)