Oleh: M. Risfan Sihaloho
Tidak bisa dipungkiri, bahwa wajah kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini banyak diwarnai oleh kesan paradoks, ironi dan anomali, Artinya, banyak kesenjangan yang sangat nyata antara idealitas das sollen yang termaktub dalam dasar negara dan konstiitusi dengan realitas das sein yang berlaku dan dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satunya adalah tentang bentuk anatomi Negara. Kendati sudah ditegaskan dalam konstitusi, yakni Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”, namun sepertinya banyak masyarakat yang kemudian tak percaya dan malah bertanya, benarkah Indonesia Negara Hukum?
Pertanyaan seperti ini muncul dikarenakan apa yang mereka pahami dalam tataran konsepsional sering sekali tidak selaras, bahkan tidak jarang bertolakbelakang dengan yang terjadi dalam tataran realitas sosial.
Sesungguhnya rakyat sangat paham, bahwa konsekuensi dari konsep Negara Hukum (rechtsstaat) itu meniscayakan supremasi hukum. Hukum wajib menjadi panglima. Artinya, secara filosofis, teoritis dan praksis kekuasaan harus dikontrol oleh hukum, bukan sebaliknya hukum dikendalikan oleh kekuasaan, seperti yang lazim berlaku dalam Negara Kekuasaan (machstaat).
Namun, seringkali pemahaman awam itu kemudian berubah jadi kekecewaaan, saat rakyat menyaksikan bagaimana fenomena penegakan hukum sering tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Kebanyakan fakta yang mereka lihat adalah praktik penagakan hukum yang jauh dari cita-rasa keadilan (justice), dimana hukum itu ternyata begitu tajam ke bawah, tapi sangat tumpul ke atas. Sangat kejam ke lawan, namun begitu sopan ke kawan.
Bicara soal keadilan, memang bagi rakyat implementasi konsep negara hukum itu sebenarnya sederhana, yakni terciptanya keadilan hukum (legal justice) di dalam seluk-beluk kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi rakyat, selayaknya prinsip keadilan itu bisa dirasakan, sejak dari pembentukan hingga ke pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut.
Persepsi seperti ini tentunya sangat mendasar, sebab Pancasila pada sila ke-5 secara eksplisit mengaskan, bahwa: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini menegaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan tanpa memandang bulu, entah itu pejabat, rakyat kecil, kaya atau miskin. Tujuan sejati dari hukum adalah mempersembahkan keadilan bagi seluruh rakyat.
Akan tetapi apa yang terjadi? Faktanya tuntutan rakyat akan keadilan sering sekali diabaikan.
Parahnya, gejala penyingkiran keadilan itu bukan hanya tampak dalam praktik-praktik penegakan hukum, namun juga begitu kentara tampak sejak proses pembentukan dan perancangan hukum itu sendiri.
Sebagai contoh, tidak sedikit produk hukum yang perancangannya disinyalir jauh dari spirit keadilan. Misalanya yang paling fenomenal adalah RUU Omnibuslaw. Kendati banyak mendapat kritikan, protes dan penolakan dari pelbagai elemen masyarakat yang menilai RUU itu hanya menguntungkan segelintir kepentingan dan sangat merugikan banyak pihak, namun tetap saja produk hukum yang kontroversial itu tetap disahkan.
Bila dicermati, buram dan suramnya dunia hukum kita ini sepertinya tidak terlepas dari pengaruh absurditas dan ironi dunia politik yang cenderung semakin tidak beradab. Dunia hukum kita sudah sedemikian “terkontaminasi” oleh agresivitas wacana politik.
Seperti yang diungkapkan Yasraf Amir Piliang dalam bukunya “Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial (2003)”, bahwa wacana politik saat ini telah mengintervensi wacana hukum yang menciptakan semacam transpolitik (transpolitical), yaitu tumpang tindih atau silang-menyilangnya wacana politik dengan wacana-wacana lain, termasuk wacana hukum, sehingga batas-batas menjadi kabur.
Menurut Yasraf, di dalam ruang transpolitik digelar berbagai permaian keadilan (jutice game), yaitu berbagai bentuk pengadilan palsu, keadilan semu dan kebenaran artifisial yang semuanya bersifat politis.
Akibatnya, kata Yasraf, yang kemudian tercipta adalah ironi hukum (irony of law), yakni kondisi ketika lembaga hukum sibuk menciptakan simulasi keadilan (simulation of justice). Lembaga hukum menciptakan citra seolah-olah (as if). Seolah-olah lembaga hukum telah menegakkan hukum, lembaga pengadilan telah menegakkan keadilan. Semua semata-mata untuk menciptakan citra palsu (pscudo image) lembaga tinggi tersebut yang dalam kenyataannya belum pernah sekali pun menciptakan keadilan sejati.
Dan boleh jadi, kondisi ini lah pula yang kemudian membuat seorang Mahfud MD, seorang pakar hukum yang sekarang menjabat Mekopulhukam, sampai “nekat” melontarkan pernyataan kontroversial, bahwa “untuk menyelamatkan rakyat, tidak masalah melanggar konstitusi”.
Begitulah, potret suram keadilan hukum di republik ini, kian hari makin tidak menentu. Aneka “permainan keadilan” semakin vulgar dipertontonkan.
Jadi, boro-boro keadilan menjadi “segala-galanya”, malah faktanya menjadi “segalau-galaunya”.(*)