TAJDID.ID~Medan || Polri diharapkan tidak off side karena opini. Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prawobo, MSI seharusnya bersikap tegas dengan merumuskan action plan untuk memprediktif opini dan statemen yang muncul saat ini terkait peristiwa hilangnya nyawa di salah satu rumah dinas perwira tinggi Polri di Jakarta Selatan yang melibatkan personil yang melekat dengan perwira tinggi dimaksud.
Demikian disampaikan Dr. Alpi Sahari, SH. M.Hum. Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) melalaui keterangan tertulisnya yang diterima tajdid.id, Ahad (17/7/2022).
Disampaikannya, sikap tegas Kapolri Jenderal Listiyo Sigit sebaiknya terfokus kepada dua hal, yakni: Pertama, menegakkan etika profesi pemberian dan penggunaan senjata api bagi kedua personil yang melekat dengan perwira tinggi dimaksud termasuk SOP nya.
“Penegakan etika profesi juga dilakukan terkait rangkaian peristiwa yang dikemukakan ke publik sehingga menimbulkan berbagai opini termasuk proses pengumpulan dan pengambilan barang bukti dan alat bukti untuk kepentingan penyidikan yang dilakukan oleh Polres Jakarta Selatan setelah peristiwa hilangnya nyawa yang diberitahukan oleh perwira tinggi setelah mendapat telfon dari isterinya. Hukum acara pidana telah mensyaratkan secara tegas proses penyidikan harus dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang,” ujar Alpi.
Dr Alpi menyatakan Kapolri Jenderal Listiyo Sigit begitu progresif karena rasa keadilan masyarakat untuk menegakkan etika profesi dalam kasus AKBP Brotoseno walaupun menerobos rambu prinsip retroaktif di dalam hukum dengan melahirkan Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian, namun menurutnya hal ini berbeda dengan hal yang terjadi dalam peristiwa hilangnya nyawa dirumah dinas perwira tinggi Polri yang penyidikannya dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Selatan.
“Statemen dan penyidikan menuai kritik masyarakat yang dikhawatirkan timbulnya stigma penegak etika profesi hanya tajam ke bawah,” kata Alpi.
Kedua, Dr Alpi minta ketegasan Kapolri agar penyidik didasarkan bukti permulaan untuk menetapkan Brada E sebagai tersangka karena keadaan atau perbuatannya memenuhi rumusan delik yang dirumuskan sebagai de delicten met materiele omschrijving atau delik yang dikualifikasi sebagai de door het gevolg gequalificeerde delicten.
“Delik ini tidak mensyaratkan hanya bentuk sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk),” ujar Dr. Alpi yang sering diminta Pengadilan untuk memberikan keterangan ahli termasuk ahli yang dihadirkan termohon Praperadilan (Polri).
Lebih lanjut Dr. Alpi mengatakan, berkaitan dengan “keyakinan” dan “ketidakyakinan” Brada E sebagai pelaku tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain untuk dapat diminta pertanggungjawaban pidana sebagai orang yang mampu bertanggung jawab bukan berada dalam tatanan opini melainkan pada proses pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 KUHAP dengan prinsip negative beginselen berwerhij yang mensyaratkan 2 alat bukti plus keyakinan Hakim.
Artinya, jelas Dr Alpi, bahwa Brada E dapat diminta pertanggungjawaban pidana dalam hal dader (pelaku tunggal) atau pleger (pelaku ada beberapa orang) atau medepleger (kerjasama dan bersekutu beberapa orang). Brada E tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana dalam hal orang yang disuruh lakukan (doenpleger) atau dader materiil dalam ajaran deelneming dan non fuit licitum necessitaa licitum facit (keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum). (*)