TAJDID.ID~Medan || Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Alpi Sahari, SH. M.Hum mengatakan, pernyataan Kapolri saat Apel Satwil 2023 baru-baru di Jakarta tentang peristiwa di Gaza dapat membangkitkan sel-sel yang terafiliasi dengan terorisme merupakan bentuk ikhtiar tanggungjawaban Polri sebagai institusi yang diamanahkan oleh konstitusi untuk merawat stabilitas Kamdagri yang telah Toyyibatun (Toto Tentrem)
“Stabilitas Kamdagri (Keamanan Dalam Negeri) berkolerasi qondio sine quonun dari pengaruh lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional, sehingga penyataan Kapolri didalam Apel Satwil 2023 di Jakarta merupakan bentuk prediktibilitas dan responsibilitas Polri terhadap kondisi yang dapat berimplikasi pada stabilitas Kamdagri yang apabila tidak diantisipasi oleh Satwil (Satuan Kewilayahan) sedini mungkin maka potensi gangguan dan ambang gangguan akan menjadi gangguan nyata kontijensi yang merugikan masyarakat secara meluas,” ujar Alpi yang juga merupakan alumni Pondok Pesantren Darul Arafah, Sabtu(4/11).
Pernyataan Kapolri bahwa peristiwa di GAZA dapat membangkitkan sel-sel yang terafiliasi dengan terorisme merupakan bentuk ikhtiar tanggungjawaban Polri sebagai institusi yang diamanahkan oleh Konstitusi untuk merawat stabilitas Kamdagri yang telah Toyyibatun (Toto Tentrem) dibawah kepemimpinan
“Ini membuktikan Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prabowo, Msi sebagai sosok pemimpin yang wise dan kecintaan Beliau terhadap seluruh warga negara Indonesia yang tergambar dari sense of humanity-nya. Sehingga tidak beralasan dan keliru serta tidak ada kaitannya antara penyataan Kapolri dengan adanya putusan MK (Mahkamah Konstitusi) sebagai pola pengalihan isu,” imbuhnya.
Alpi menegaskan, terorisme tidak ada kaitannya dengan agama manapun karena terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”extra ordinary crime”, “kejahatan terorganisir” atau “organized crime” yang tentunya memiliki sel-sel sampai lini terbawah dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”.
“Menurut Dr. MR Dayan, SH, MH didalam Disertasi Program Doktor (S3) Ilmu Hukum dengan mengutip pendapat Prof Muladi bahwa esensial tindakan terorisme tentunya bukan hanya membahayakan keamanan umum, tetapi telah memakan banyak korban nyawa manusia yang tidak sedikit, bahkan telah menimbulkan rasa takut, panik dan chaos dalam masyarakat sampai pada hancurnya perekonomian nasional,” jelasnya.
Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan menjadi korbannya. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extra ordinary measure),
“Menurut Prof. Muladi bahwa ”Setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik karena karakteristiknya mengandung elemen etno socio or religios identity, dalam mengatasinya mau tidak mau harus mempertimbangkan standar-standar keluarbiasaan tersebut dengan mengingat majunya teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern. Dengan demikian tidaklah mengejutkan apabila terjadi identitas terorisme lintas batas negara (transborder terorism identity),” ungkapnya.
Selanjutnya, Dr Alpi mengutip Prof. Romli Atmasasmita yang mengatakan bahwa dari latar belakang sosiologis, terorisme merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan perkosaan terhadap hak asasi manusia.
Alpi menilai, pendapat Romli Atmasasmita ini sejalan dengan pendapat Indriyanto Seno Aji bahwa akibat dari kejahatan terorisme yang memperkosa hak asasi manusia merusak system perekonomian, integritas negara, penduduk sipil yang tidak berdosa serta fasilitas umum lain dalam konteks melawan hukum yang signifikan sekali.
“Karena itu pelaku teror yang berlindung sebagai pelaku delik politik atau political purpose yang dilakukan dengan purpose of violence dimana tindakan dimaksud untuk membuat shock atau intimidasi governmental authority atau yang berakibat pada public by innoncent,” kata Alpi.
Selanjutnya ia menambahkan pendapat T. P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964), bahwa terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan.
Proses teror, menurutnya memiliki tiga unsur, yaitu: Pertama, tindakan atau ancaman kekerasan. Kedua, reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon korban. Ketiga,dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian.
“Uraian-urain yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas sejalan dengan pernyataan Kapolri agar Satwil melakukan tindakan antispasi (prediktif) dan responsibiltas (peka) terhadap pengaruh global yang berimplikasi terhadap Stabilitas Kamdagri dan Kamtibmas. Disinilah tergambar sosok Jenderal Sigit memiliki daya cipta, rasa dan karsa sehingga akan menjadi kesempurnaan kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas bagi instutisi Polri yang diberikan amanah sebagai ladang ibadah,” jar Dr. Alpi
Selanjutnya Dr. Alpi mengemukkan bahwa Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah (Akademi Bahasa Arab) di Kaero menetapkan penggunaan kata al-irhâb (sebagai terjemahan kata terrorism) di dalam bahasa arab dalam sifatnya sebagai istilah kontemporer. Asasnya adalah kata rahiba yang bermakna khâfa (takut). Majma’ al-Lughah menjelaskan bahwa teroris adalah sifat yang dikenakan pada orang-orang yang menempuh jalan kekerasan untuk merealisasi tujuan-tujuan politik mereka.
“Ini sekaligus menjelaskan bahwa kata irhâb sebagai satu istilah dengan maknanya sekarang, sebelumnya tidak dikenal. Sebab sebagai sebuah istilah, terorisme adalah istilah baru, berawal dari Eropa, muncul pada masa revolusi Perancis yang memunculkan tatanan sekuler demokrasi. Dalam bahasa arab, kata irhâb merupakan derivasi dari asal kata rahiba – yarhabu – rahban wa rahaban wa ruhban wa rahbatan yang artinya khâfa (takut) dan faza’a (ngeri). Dan arhabahu wa rahhabahu artinya akhâfahu (membuatnya takut) dan fazza’ahu (membuatnya merasa ngeri),” pungkasnya. (*)