TAJDID.ID-Medan || Dosen dan Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiayah Sumatera Utara (UMSU), Dr Alpi Sahari SH MHum mengapresiasi responsibilitas Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prabowo, Msi dan AS SDM Kapolri Irjen Pol. Prof. Dr. Dedi Prasetyo, MSi yang telah memberikan quota khusus terhadap calon Bintara Polri yang jadi korban begal. Diketahui korban telah melakukan perlawanan sehingga ia mengalami jari putus, dimana peristiwa terjadi pada saat korban akan mengikuti tahapan seleksi calon Bintara Polri.
“Responsibiltas dengan memberikan quota khusus memfaktakan bahwa organisasi Polri sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai dasar dan fundamental dari landasan filosofis dan konstitusional bangsa Indonesia,” ujar Dr Alpi, Sabtu (18/5/2024).
“Nilai-nilai dasar ini diimplementasikan secara langsung oleh Kapolri dan AS SDM Kapolri sebagai bentuk aktualisasi Polri PRESISI,” imbuhnya.
Menurut Dr Alpi, ditinjau dari prinsip positivisme berkaitan dengan tata aturan rekrutmen personil Polri tentunya calon Bintara Polri yang jari nya putus akibat melakukan perlawanan terhadap pembegalan tidak memenuhi syarat, namun dalam prinsip progresif tidak memenuhi syarat tentunya tidak memberikan rasa keadilan,
“Karena putusnya jari calon Bintara Polri dimaksud terjadi karena korban dari pembegalan dengan melakukan perlawanan sebagai suatu daya paksa (overmacht) dan pembelaan diri (noodwer),” sebut Dr Alpi.
Lebih lanjut Dr Alpi menjelaskan, di dalam hukum pidana terdapat beberapa postulat terkait daya paksa yakni: Pertama, quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit. Artinya keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum.
Kedua, in casu extremae necessitates omnia sunt communia yang berarti dalam keadaan terpaksa, tindakan yang diambil dipandang perlu.
Ketiga, necessitas quod cogit defendit: keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat.
Keempat, necessitas sub lege non continetur, qui aquod alias non est licitum necessitas facit licitum, artinya keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh hukum, namun dilakukan dalam keadaan terpaksa maka perbuatan tersebut dianggap sah.
“Kebijakan Kapolri dan AS SDM Kapolri secara responsif calon Bintara Polri dimaksud merupakan bentuk kebijaksanaan yang mengharmonisasikan prinsip tata aturan dengan rasa keadilan yang dimaknai dengan prinsip integratif dalam konsepsi Tajdid (pembaharuan). Hal inilah seharusnya dapat dijadikan contoh keteladanan kepemimpinan nasional yang menanamkan nilai dasar untuk terwujudnya Indonesia Emas,” kata Dr Alpi
Selanjutnya Dr. Alpi mengatakan bahwa pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan ini pada dasarnya merupakan ujung dari suatu rangkaian proses yang panjang dari pengambil kebijakan.
“Proses dimaksud, melibatkan curahan kebijaksanaan yang termuat kehati-hatian dalam berpijak pada intelektualitas atau kecendekiawanan yang memadai. Proses tersebut juga melibatkan pertimbangan atau penilaian dari segala sudut pandang yang adil.
“Barulah kemudian sampai pada pilihan yang berkenaan dengan pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan tertentu. Kebijakan yang didasari pada kebijaksanaan sering dimaknai dengan diskresi,” ujar Dr Alpi.
Selama ini, diskresi sering kali diartikan secara salah kaprah, dimana kata diskresi cenderung direduksi maknanya dan diartikan semata-mata sebagai tindakan yang diambil. Padahal, kata Dr Alpi, tindakan yang diambil sebenarnya merupakan hasil atau produk dari diskresi, bukan diskresi itu sendiri.
Kesalahan ini menurut Dr Alpi antara lain berpangkal pada kenyataan bahwa tindakan yang diambil merupakan keluaran dari diskresi yang kasat mata sehingga dapat diobservasi secara langsung. Pada kata kemerdekaan dan otoritaslah semestinya fokus dari makna kata diskresi diarahkan.
“Diskresi pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan di dalam pelaksanaan tugas, walaupun di permukaan tampak bertentangan dengan rule of law. Sifat peraturan yang memang terbuka secara logika, membuat elemen diskresi, setidaknya yang implisit, dengan demikian tidak dapat ditolak.
Terakhir Dr Alpi mengatakan, perbedaan dalam memahami apa yang disebut sebagai diskresi, pada dasarnya bukanlah perbedaan sederhana yang bersifat dikotomis. Ada pola perbedaan pendapat mengenai diskresi dengan nuansa perbedaan yang halus dan bersifat kontinum di antara pakar, praktisi dan pengamat hukum.
“Satu-satunya jalan agar gradasi perbedaan tersebut dapat dirasakan adalah dengan meninjau sekaligus meletakkan seluruh permasalahan ini di dalam konteks filsafat hukum melalui kajian pragmatik,” pungkas Dr. Alpi. (*)