
Aparat Jangan Jadi “Polisi Demokrasi”
Dalam konteks Indonesia, lanjut Fadli Zon, gesekan antar kelompok di tengah hajatan politik bukanlah berangkat dari tergerusnya komitmen masyarakat terhadap persatuan, tapi lebih karena dipancing oleh meningkatnya ketidakadilan sosial, politik, hukum dan ekonomi.
“Inilah yang menjadi faktor utama keterbelahan politik belakangan ini,” tegasnya.
“Jika pemerintah taat kepada prinsip good governance, clean governance, hukum ditegakkan secara adil, peraturan perundangan disusun dengan melibatkan masyarakat, kebijakan publik tidak mencederai rasa keadilan masyarakat, saya kira tidak akan muncul gesekan berarti,” imbuhnya.
Di samping itu, kata Fadli Zon, gesekan juga terjadi karena lemahnya pemimpin. Pemimpin kita tak pernah “sabdo pandito ratu”, ucapannya tidak menyatu dengan perbuatannya, sehingga menimbulkan public distrust, ketidakpercayaan publik.
“Saya melihat wacana politik-identitas ini telah dikampanyekan sedemikian rupa, seolah otomatis negatif, sebagai upaya menekan kelompok politik tertentu. Apalagi, selama ini isu politik-identitas memang dinilai menurut standar ganda dalam dunia politik kita,” kata Fadli Zon.
“Tahun 2019, ketika Presiden Jokowi jelas-jelas memilih seorang kyai sebagai calon wakil presidennya, kenapa tak ada yg melihat strategi politik itu sebagai politik-identitas, misalnya?,” tanya Fadli Zon.
Itu sebabnya, kata Fadli Zon, jangan gegabah dan harus hati-hati dalam mendudukkan apa yang dimaksud dengan politik-identitas. Menurutnya, tanpa argumentasi akademis dan hukum yang memadai, lontaran terkait politik-identitas bisa mencederai proses demokrasi Pemilu 2024.
“Jangan sampai aparat kita menjadi “Polisi Demokrasi”, yang bisa mendefinisikan persoalan-persoalan demokrasi hanya menurut persepsi sendiri,” pungkasnya. (Mursih)
Baca juga:
- Hentikan Kesalahpahaman Atas “Politik Identitas”
- Tidak Ada yang Salah dengan Politik Identitas
- Tanpa Identitas Politik itu Hampa
- Chusnul Mar’iyah: Politik Identitas Bukan Sumber Pembelahan Pilpres