Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Baru-baru ini, Wakil Ketua Umum DPP Partai Geindra, Habiburokhman, melontarkan sebuah pernyataan menyambut baik usulan tak ada partai oposisi untuk ke depannya di Indonesia. Menurutnya, Indonesia memungkinkan tanpa oposisi, tak seperti di Amerika.
Hal itu disampaikan Habiburokhman menanggapi pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang berharap tak ada partai politik yang menjadi oposisi, ia berharap semua parpol bergabung dalam pemerintahan.
Atas pernyataan tersebut, begini tanggapan saya. Terserah siapa yang mengusulkan kepadanya atau kemungkinan dirinya sendirilah yang terobsesi untuk mendorong perubahan sistim pemerintahan Indonesia tanpa oposisi, tampaknya kader pentolan Partai Gerindra Habiburokhman jelas tak memperhitungkan secara cermat dampak ucapannya terhadap eskalasi politik pasca pemilu 2024.
Habiburokhman tak begitu menyadari, bahwa sebetulnya eskalasi gejolak sosial politik mengiringi sidang-sidang PHPU Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dorongan eksternal (parlemen jalanan) yang terus menyuarakan penggunaan Hak Angket oleh DPR, adalah konsekuensi dari penerapan quasi pemerintahan tanpa oposisi selama pemerintahan Joko Widodo. Rakyat mengambil alih peran pengawasan. Itulah yang terjadi.
Tidak ada derajat memadai dari keberfungsian DPR sebagai institusi pengawasan, dan dengan hanya sedikit suara penentangan yang selalu ditenggelamkan oleh framing-framing media, pemerintahan Indonesia memang telah semakin menemukan diri dalam eskalasi kenyamanan tanpa oposisi.
Pemerintahan Indonesia yang diinginkan oleh Habiburokhman bukan corak demokrasi ala Amerika dengan keberadaan oposisi. Mungkin dengan menyebut Amerika sebagai yang dilihatnya sebagai contoh terburuk dalam demokrasi saat ini, ia sekaligus ingin menegaskan bahwa sistim partai tunggal model yang diterapkan di China jauh lebih baik.