Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Penonjolan perbincangan tentang politik identitas teristimewa dalam menghadapi pilpres 2019 yang lalu begitu kuat. Sekaligus juga menjadi sasaran empuk untuk dicaci-maki oleh pihak-pihak tertentu. Obsesi dan proses menuju penggantangan kekuasaan politik secara subjektif dinilai benar-benar terganggu oleh keberadaan politik identitas itu.
Oleh banyak komentator yang selain terkesan tak jujur, juga kurang jelas keindependenanya, politik identitas ini telah diposisikan begitu buruk. Faktor ini cukup banyak menyumbang kekeruhan politik yang, selain menjadi simpangsiur, juga menjadi gaduh. Ini adalah sebuah model representasi kepentingan-kepentingan yang saling beradu dengan tingkat kejujuran yang berbeda. Semua sedang memacu keinginan untuk merebut hak asuh atas negara.
Mengapa harus disebut ada tingkat kejujuran yang berbeda? Ya, jika polarisasi Indonesia saat ini terlanjur dikeluhkan tersebab menguatnya identitas Islam politik (katakanlah begitu), ekspresinya yang lebih jujur tentang siapa dirinya dan apa harapan-harapannya jauh lebih berterus terang dibanding kelompok yang memusuhinya. Jika mengikuti kesalahan cara berfikir beberapa elit di Indonesia, menguatnya identitas Islam politik itu adalah ancaman bagi besar, sebetulnya kepancasilaankah, kadar kecintaan kepada UUD 1945kah, kadar kebhinneka tunggalikaankah, dan kadar ke-NKRI-an-kah yang menjadi motivasi tarung menghadapi perebutan kekuasaan dengan kekuatan politik Islam baginya?
Banyak pihak meragukan itu, karena Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI bisa-bisa hanyalah sebatas jubah politik untuk memudahkan jalan elektoral meraih kekuasaan semata. Hanya itu. Tidak ada otoritas apa pun di negeri ini yang bisa memberi pengadilan terhadap masalah itu kecuali, kembali lagi, saling klaim dan saling tuduh. Kemudian terpulang kepada rakyat untuk percaya klaim atau tidak. Politik selalu lazim bersembunyi di balik kata-kata dan manuever untuk memaksudkan perjuangan yang bertujuan berbeda. Mereka yang dituduh berjubahkan Islam untuk kepentingan politik bahkan mungkin lebih merasa menjanjikan sesuatu kebaikan dan masalahat untuk Indonesia dibanding mereka yang berjubahkan klaim kepancasilaankah, klaim kecintaan kepada UUD 1945, klaim kadar kebhinneka tunggalikaan, dan klaim kadar ke-NKRI-an.
Kekalahan Ahok-Djarot pada Pilkada di DKI tahun 2017 umumnya dengan mudah dijadikan sebagai contoh terburuk politik identitas di Indonesia dengan penekanan pada kekecewaan terhadap intoleransi umat Islam. Di pihak lain, hal ini dengan kontras diperbandingkan dengan Walikota London yang terpilih Mei 2016 lalu, yang beragama Islam, Sadiq Khan.
Populasi pemeluk agama Islam di DKI Jakarta pada 2016 mencapai 83,4 % atau 8,6 juta jiwa, Kristen, Katholik, dan Budha secara berturut-turut persentasenya adalah 8,62; 3,99 dan 3,75 %. Di London, berdasarkan sensus tahun 2011 persentase umat Muslim memang dinyatakan telah meningkat 12,4% (40% dari total jumlah umat muslim di Inggris). Di Borough London dan Tower Hamlets, persentase umat Islam mencapai lebih dari 30%. Dengan fakta mayoritas non-muslim yang menerima seorang muslim menjadi Walikota di London, apakah sudah cukup bukti bahwa intoleransi muslim di Jakata yang tak memenangkan Ahok-Djarot berbanding terbalik dengan keadaan yang dapat ditemukan di London?
Kehidupan awal, pandangan politik, dan kehidupan pribadi Sadiq Khan perlu ditelaah untuk membuktikan apakah politik identitas yang mengantarkannya ke kursi jabatan Walikota London. Sadiq Khan adalah politikus yang menjabat sebagai anggota parlemen untuk wilayah Tooting semenjak ia terpilih dalam pemilihan umum Britania Raya 2005. Ia anggota Partai Buruh dan secara ideologis merupakan seorang demokrat sosial yang moderat.
Pemegang gelar sarjana hukum ini pernah berprofesi sebagai seorang solicitor yang berspesialisasi dalam bidang hak asasi manusia dan pernah menjabat sebagai kanselir di London Borough of Wandsworth dari tahun 1994 hingga 2006. Bukan hanya itu, tahun 2008 Sadiq Khan pernah diangkat sebagai Menteri Negara untuk Komunitas dan menjadi orang Pakistan Britania kedua yang menjabat di pemerintahan. Ia juga kemudian menjadi Menteri Negara untuk Transportasi. Pada 16 Januari 2013 sebagai Menteri untuk London bayangan dan pada 11 Mei 2015 mengundurkan diri dari kabinet bayangan ini untuk menjadi calon wali kota dari Partai Buruh.
Pandangan politik Sadiq Khan dipersepsi berbeda oleh orang yang berbeda. Komentator politik Nick Cohen mengatakan Khan sebagai seorang demokrat sosial kiri-tengah. Tetapi jurnalis Amol Rajan menyebut “pemegang obor untuk faksi demokrat sosial” di Partai Buruh. BBC sendiri lebih memilih predikat Sadiq Khan sebagai bagian dari kaum “kiri lembut” (soft left) di partainya.
Bandingkanlah London dan Inggeris untuk Sadiq Khan dengan Jakarta dan Indonesia untuk Ahok. Jika atas penistaan yang dilakukannya terhadap Islam Ahok akhirnya dihukum, maka Sadiq Khan malah mengakui bahwa ia menerima ancaman pembunuhan karena telah mendukung rancangan undang-undang pernikahan sesama jenis yang pada akhirnya disahkan pada Juli 2013. Tahukah yang terjadi pada komunitas muslim di Inggeris? Seorang imam bahkan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Sadiq Khan bukan lagi seorang Muslim.
Meski pernah menjadi Gubernur DKI, Ahok belum pernah beroleh kesempatan bertarung untuk dirinya sebagai calon gubernur di tengah masyarakat Jakarta yang dengan demikian modalitas sebagai petahana memiliki bobot tidak penuh. Itu sangat berbeda dengan Sadiq Khan.
Sebetulnya apakah politik identitas itu? Mengapa begitu dicemaskan? Dengan enteng banyak orang akan berkata bahwa politik identitas itu adalah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri, politik identitas diartikulasikan sedemikian rupa melalui interpretasi dalam ekstrimitas tertentu, yang bertujuan untuk meraih dukungan orang-orang yang diperkirakan merasa sama, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Kalau begitu, kemenangan Sadiq Khan di London dan kekalahan Ahok di Jakarta harus dilihat sebagai ekspresi pertarungan kekuatan politik identitas. Jika di Jakarta disebut-sebut Ahok kalah karena politik identitas Islam mampu mengungguli lawannya (mau didefinisikan apa? Politik identitas anti Islam?), maka politik identitas apakah yang memenangkan Sadiq Khan di London? Dengan memeriksa kehidupan awal, track record perjuangan politik dan orientasi politik Sadiq Khan, saya percaya yang memungkinkannya menang adalah politik identitas liberal.
Kalau begitu mengapa harus bersembunyi dengan identitas? Apakah ada orang yang tak memiliki identitas di permukaan bumi ini? Apakah ada partai politik yang tak dibangun atas identitas? Omong kosong jika ada yang mengatakannya ada. Kalau begitu pertegaslah perjuangan identitasmu dan jangan lupa semua itu untuk maslahat Indonesia.
Klaim-klaim dan tudingan-tudingan peyoratif yang rada rendah budaya dan peradaban haruslah dihentikan. Karena Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI tak identik dengan itu.(*)
(Naskah ini pertamakali diterbitkan oleh Harian WASPADA Medan, Senin, 13 Mei 2019, hlm B7)
Shohibul Anshor Siregar, Dosen FISIP UMSU