TAJDID.ID || Pakar politik Chusnul Mar’iyah membatah pandangan politik Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari yang menyebut politik identitas sebagai sumber pembelahan saat Pemilihan Presiden di Indonesia.
Dikatakannya, pihak-pihak yang anti politik identitas adalah mereka yang tak paham sejarah konstruksi bangsa ini. Menurutnya, sejarah konstruksi bangsa ini perlu dipelajari secara objektif.
“Indonesia dijajah selama 350 tahun, kata siapa? Yang dijajah itu adalah kesultanan-kesultanan Islam, mulai dari Syah Kuala sampai ke daerah Tidore sana,” ujar Chusnul saat diskusi Zoominari Kebijakan Publik Narasi Institute, Jumat (25/6).
Jadi, kata Chusnul, konstruksi bangsa ini adalah sebahagian besar dulunya merupakan bangsa-bangsa, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam.
“Tapi hari ini kita pemilu dengan membawa nama Islam aja langsung dilarang. Ada yang teriak agama tidak boleh dicampur dengan politik. Ini kan aneh,” sebutnya.
Pakar Politik UI ini menjelaskan, politik identitas sebenarnya biasa saja dalam ilmu politik, namanya “political-preference”.
Bahkan, lanjut Chusnul, politik identitas ini juga ada di Amerika, misalnya keberadaan AIPAC ( (The American Israel Public Affairs Committee) yang pengaruhnya masuk ke Partai Republik maupun Partai Demokrat
Sekarang ini, kata Chusnul, partai politik selalu dihadapkan pada situasi dikhotomis, misalnya partai Islamis versus Partai Nasionalis, seolah-olah ingin menyebutkan bahwa partai-partai Islam itu tidak nasionalis.
“Itu gaya analisis para orientalis, mestinya anda mengatakan nasionalis-sekuler versus nasionalis relijius,” tegasnya.
Soal 3 Periode
Kemudian ia menyinggung soal adanya gagasan 3 periode masa jabatan Presiden.
“Apa sih urgensinya 3 periode. Kalau argumen dan narasinya Indonesia terbelah, memangnya Indonesia itu ibarat dua orang yang harus disatukan dengan lem. Jelas gak bisa, variabelnya banyak sekali,” jelasnya
Menurutnya, justru saat ini persoalan utama dari negeri ini adalah persoalan Leadership dan yang paling bertanggungjawab atas krisis leadership tersebut adalah partai politik dan media.
Karena itu ia Chusnul mengaku heran dengan adanya ide tiga periode disaat utang menggunung, indeks korupsi meningkat dan indeks demokrasi menurun.
“Utang menggunung, indeks korupsi meningkat dan indeks demokrasi menurun, Kok bisa ada ide presiden tiga periode. Itu ide darimana?’ ujar Chusnul Mariyah.
Kemudian, lanjut Chusnul, ada juga yang mempersoalkan bersyari’ah.
“Memangnya gak boleh bersyari’ah? Boleh dong, orang kita juga punya Pengadilan agama di republik ini. Bahkan kita punya Pancasila, sila pertama yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, Sila kedua Kemanusian yang beradab, sila keempat tentang permusyawaratan dan sila kelima soal keadilan sosial. Itu semua adalah konsep-konsep Islam yang terkandung dalam Pancasila,” tegasnya.
Menurut Chusnul, yang terjadi sekarang di republik ini adalah runtuhnya demokrasi, suksesi pemilu yang banyak menggunakan kekerasaan, penggunaan aparatus negara untuk kepentingan tertentu dan lain sebagainya.
“Jadi, membaca politik bukan sekedar membaca ini budi, ini Ibu Budi dan ini Bapak Budi. Membaca politik itu harus denga iqro’ bismirabbikalladzi kholaq,” tukasnya.
Chusnul juga menyoroti soal kedaulatan negara yang hari ini menurutnya telah dijual murah tanpa rasa malu.
“Siapa yang jual murah itu ? Tentu jawabannya dapat kita lihat, utang makin menggunung di era rezim siapa ? SDA terus diekslopitasi oleh siapa dan untuk siapa ? Dana Covid 19 yang mengkorupsi siapa ?,” ungkapnya.
Terakhir mantan komisioner KPU ini menyinggung soal problematika pelaksanaan Pemilu di republik ini. Ia menegaskan, dalam Pemilu yang populis tidak ada garansi calon-calon yang kredibel, kapabel, pemimpin-pemimpin yang baik, itu kemudian bisa terpilih.
“Karena variabelnya banyak sekali, mulai dari manipulasi, integritas penyelenggara pemilu, jumlah DPT dan sebagainya,” tutupnya. (*)