TAJDID.ID~Jakarta || Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, mengatakan, diskon atau pengurangan vonis oleh Hakim Mahkamah Agung (MA) kepada Edhy Prabowo mantan Menteri Kelautan menunjukkan MA kembali terperosok membuat catatan buruk dalam sejarah penegakan hukum korupsi di Indonesia.
“Pertimbangan hukum yang dijadikan alasan terkait pemotongan lamanya masa hukuman oleh maajelis hakim dalam putusannya dalam perkara ini sangat kering,” ujar Azmi, Kamis (10/3/2022).
Bahkan, kata Azmi, putusan hakim menyangkut pertimbangan hukumnya telah menyimpang, keluar dari aspek pertimbangan hukum, dimana hakim dalam putusan ini telah masuk keranah penilaian kinerja jabatan seorang menteri.
Diketahui, majelis hakim kasasi MA yang diketuai ketua majelis Sofyan Sitompul dengan anggota majelis kasasi Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani menilai terdakwa suap izin ekspor benih lobster telah bekerja baik selama menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Ini bukan wewenang hakim tingkat kasasi, apalagi menjadikan ukuran kinerja diambil menjadi pertimbangan hukum,” tegas Azmi.
“Ini suatu keganjilan dalam praktek hukum terkait putusan Hakim MA dimana pertimbangannya memberikan penilaan tentang kinerja seorang mantan Menteri Kelautan. Hakim sudah melampaui wewenangnya. Karena yang berwenang menilai kinerja seorang Menteri bukanlah majelis hakim kasasi,” imbuhnya.
Azmi menilai, majelis hakim sudah abai terhadap bahaya kejahatan korupsi, apalagi kasus ini telah menjadi perhatian publik. Ia melihat hakim MA tidak lagi memperhatikan hal-hal yang memberatkan atas perbuatan pelaku dan fakta hukum materilnya, dimana pelaku mendapatkan fee dari izin ekspor tersebut dari perusahaan perusahaan yang ‘lulus’ seleksi sebagai eksportir. Dimana panitia seleksi adalah orang orang terdekat terdakwa, termasuk pula pelaku terbukti menyalahgunakan kewajiban dari jabatannya semestinya menjadi alasan pemberatan hukuman bukan malah di diskon dari 9 tahun menjadi 5 tahun.
Dari putusan ini, lanjut Azmi, seolah hakim tidak netral, salah memahami wewenang kasasi. Menurutnya hakim nyata sudah melampaui wewenangnya, lari dari makna kemerdekaan hakim yang tidak boleh diartikan sebebas bebasnya oleh hakim.
“Ini namanya hakim bersembunyi di balik kewenangan, bahwa putusan penilaian hakim menjadi independensi kehakiman dan mengaburkan asas kepatutan, dan rasa keadilan masyarakat,” sebut Azmi.
“Sehingga putusan majelis hakim tingkat kasasi ini bertentangan dengan Pasal 253 ayat 1 KUHAP. Karenanya putusan ini didorong untuk dilakukan eksaminasi khusus maupun eksaminasi publik,” tutup Azmi.
Baca juga: Edhy Prabowo Minta Bebas, Alasannya Ia Punya Istri Sholehah
Diketahui, perjalanan proses hukum kasus korupsi Edhy Prabowo ini sangat menarik dan fluktuatif.
Diketahui, pada 15 Juli 2021, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta hakim menjatuhkan vonis 5 tahun penjara terhadap kader Partai Gerindra itu.
Setelah vonis ditetapkan, Edhy mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. November 2021, majelis hakim pengadilan tinggi memperberat hukuman Edhy menjadi pidana penjara 9 tahun.
Tak terima atas putusan Pengadilan Tinggi DKI, Edhy mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Senin, 7 Maret 2022, majelis hakim MA memutuskan untuk memangkas hukuman Edhy menjadi 5 tahun penjara. (*)