
Respon Negara
Sejauh ini, lanjut Misran Lubis, pemerintah Indonesia memang telah memberlakukan beberapa undang-undang terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak. Selain itu, Pemerintah juga telah menciptakan Sistem Perlindungan Anak (SPA) sebagai sistem untuk melaksanakan perlindungan anak, yang terdiri dari 5 sub- sistem yang saling berkaitan, yakni: Hukum dan Kebijakan, Kesejahteraan Anak dan Keluarga, Peradilan, Perubahan Perilaku Sosial, dan Data dan Informasi.
SPA merupakan pendekatan untuk mempromosikan perlindungan anak yang komprehensif dengan mengatasi faktor risiko untuk mengurangi kerentanan anak dan menanggapi berbagai masalah perlindungan anak.
“Untuk itu diperlukan komitmen di tingkat pusat dan daerah dalam pelaksanaan SPA ini,” ujar aktivis yang pernah mengikuti Training ‘Child Safe Organization’ (Kebijakan dan Prosedur Perlindungan) oleh Ecpat International di Phuket-Thailand, Oktober 2011.
Dengan adanya berbagai instrument hukum, kebijakan dan kelembagaan untuk pelaksanaan Sistem Perlindungan Anak, Misran Lubis berharap akan menjadi jawaban dari keresahan dan keprihatinan dunia terhadap anak-anak Indonesia.
“Namun kenyataannya sistem yang dibangun tersebut belum sepenuhnya efektif dan optimal dalam mengatasi kompleksitas persoalan anak di Indonesia. Persoalan sumberdaya manusia, daya jangkau, dan pendanaan, menjadi masalah klasik yang terus terjadi,” katanya.
“Oleh karenanya pengawasan dan penyelenggaraan perlindungan anak perlu memperkuat pendekatan sosio kultural, karena bangsa Indonesia memiliki lebih dari 1.340 suku bangsa, beragam agama dan aliran kepercayaan,” imbuhnya lagi.
Pendekatan Sosio Kultural
Misran Lubis mengatakan, pengawasan penyelenggaran perlindungan anak dengan memperkuat sistem kearifan lokal atau pendekatan sosio kultural merupakan mandat dari Undang-undang Perlindungan Anak berkaitan dengan ‘Partisipasi Masyarakat’.
Dijelaskannya, ada banyak praktik baik yang berkembang di masyarakat, baik dari nilai-nilai adat, budaya dan agama yang dapat di selaraskan dengan pendekatan struktural (hukum normatif dan kelembagaan negara).
“Misalnya saja dalam pendekatan diversi dan restorative justice penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, sebuah organisasi perlindungan anak di pulau nias, menselaraskan dengan budaya lokal ‘fondrakö’,” ungkapnya,
Selain pendekatan adat dan budaya, kata Misran Lubis, pengawasan juga dapat diperkuat dengan kelembagaan-kelembagaan keagamaan baik yang terorganisasi ditingkat pusat sampai daerah, maupun kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang dalam lingkungan terbatas.
Namun untuk membangun sistem pengawasan dengan pendekatan sosio-kultural, perlu ada perencanaan dan pelembagaan yang tersistematis, menghindari kesenjangan informasi, pemahaman dan tindakan yang akan dilakukan.
“Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga independen dapat menjadi ‘jembatan’ yang strategis menghubungkan pendekatan struktural dan kultural, mengharmonisasi hukum normatif, standart-standart global dengan nilai-nilai kearifan lokal dan lembaga-lembaga sosial di masyarakat,” pungkas Misran Lubis. (*)