TAJDID.ID || Tragedi 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang pasca laga Arema FC dengan Persebaya FC menyisakan pilu yang mendalam. Dunia berduka, lebih dari 130 orang meninggal dan lebih dari 500 orang mengalami luka-luka, diantara korban meninggal sedikitnya 32 anak-anak turut menjadi korban, berusia antara 3-17 tahun dan beberapa diantaranya adalah anak perempuan.
Menyikapi hal tersebut, Alians CSO (Civil Society Organization) Peduli Anak Indonesia yang terdiri dari JARAK (Jaringan LSM untuk Penanggulangan Pekerja Anak) Indonesia, ECPAT (End Child Prostitution, Chil Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purposes) Indonesia dan PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) turut menyampaikan keprihatinan yang mendalam.
“Keprihatinan kita terhadap anak-anak tidak saja banyaknya korban yang meninggal, tetapi mereka juga yang harus kehilangan orangtuanya, dan ketraumaan psikologis,” ujar Misran Lubis, Direktur Eksekutif JARAK Indonesia, melalui keterangan tertulis besama yang diterima tajdid.id, Rabu (12/10/2022).
Ia mengungkapkan, indikasi utama banyaknya korban di Kanjuruhan Malang diakibatkan oleh gas airmata yang ditembakkan oleh kepolisian secara membabi buta. Penggunaan gas air mata oleh kepolisian membuat penonton panik sehingga kekacauan tak bisa terhindarkan, dan ditambah dengan penyebab lainnya, seperti keterlambatan membuka pintu tribun sehingga penonton terjebak didalam stadion.
Lebih lanjut dijelaskannya, meski dalam regulasi FIFA tentang Stadium Safety and Security Regulations Pasal 19(b) yang menyebut dilarang membawa atau menggunakan senjata api atau “gas pengendali massa”, namun di Stadion Kanjuruhan Malang, polisi menembakkan gas air mata ke beberapa arah, termasuk ke arah tribun penonton yang padat.
“Keterlambatan maupun kelalaian pertugas melakukan pertolongan darurat (emergency rescue) terhadap anak-anak patut di duga, panitia pertandingan dan petugas keamanan melakukan pelanggaran hak anak karena gagal melindungi anak-anak dalam situasi kritis,” tegasnya.
Merespon tragedi tersebut, Pemerintah Indonesia melalui membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), yang ditetapkan melalui Keppres No. 19 Tahun 2022. Tim ini berjumlah 13 orang yang diketuai oleh Mentri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Ada 4 poin kewenangan utama dari TGIPF yaitu;(a) melakukan koordinasi, meminta bantuan, dan memanggil berbagai pihak yang mengetahui terjadinya peristiwa tersebut, baik secara langsung maupun melalui aparat penegak hukum dan/atau aparat keamanan guna mendapatkan data, informasi, dan keterangan yang relevan dan akurat sebagai bahan yang diperlukan untuk mengungkap fakta yang sebenarnya terkait dengan peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang; (b) mendatangi kantor, bangunan, atau tempat terjadinya peristiwa atau tempat lainnya yang berkaitan dengan terjadinya peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang; (c) meminta informasi, dokumen, benda, atau bentuk lain yang terkait dengan peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang; dan (d) melakukan hal-hal lain yang dipandang perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk mengungkap kebenaran dalam peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang.
“Dengan adanya TGIPF, tidak hanya keluarga korban, tapi juga seluruh masyarakat bahkan dunia internasional berharap agar tragedi Kanjuruhan dapat di ungkap dengan transparan siapa-siapa yang harus bertanggungjawab terhadap banyaknya korban jiwa dan adanya sanksi tegas terhadap para pihak yang menjadi penyebabnya,” kata Misran.
Disamping itu untuk menghindari tragedi-tragedi dimasa mendatang, tentu sangat diperlukan adanya reformasi standart keamanan dan keselamatan stadion sepak bola,” imbuhnya.
Perlunya Stadion Ramah Anak
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Syofyan mengatakan, Sepak bola merupakan olah raga rakyat, digemari hampir semua kalangan usia dan jenis kelamin, sehingga pertandingan-pertandingan sepak bola selalu menyedot ribuan penonton yang ingin menyaksikan langsung di stadion.
Menurut Ahmad Syofyan, belajar dari tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang dan melihat situasi stadion sepak bola di Indonesia, dimana anak-anak banyak yang hadir langsung di stadion, bahkan tidak sedikit orangtua yang membawa anaknya diusia yang masih dibawah lima tahun, maka telah menjadi satu keharusan agar pengelola sepak bola seperti FIFA, PSSI dan Pemerintah menghadirkan stadion sepak bola yang ramah anak.
“Inisiatif untuk mengahadirkan stadion yang ramah anak, bukan tanpa alasan, selain olah raga sepak bola juga dikuti, diminati dan menjadi bagian dari hak anak untuk mengembangkan minat dan bakatnya, tapi disisi lain juga ada kewajiban bagi negara untuk memastikan rasa aman dan keselamatan anak,” ujarnya.
“Sejumlah aturan FIFA tentang stadion yang bersifat untuk masyarakat secara umum, perlu ada regulasi tambahan keamanan, kenyamanan dan keselamatan anak,” tambahnya.
Direktur Eksekutif PKPA, Keumala Dewi menambahkan, memperhatikan standart perlindungan terhadap anak yang rendah untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam stadion, maka beberapa hal perlu menjadi perhatian seperti emergency rescue bagi anak dan kelompok rentan yang hadir si stadion, pintu dan tribun khusus bagi anak dan orangtua yang membawa anak-anak.
“Lebih jauh kami merekomendasikan untuk memperluas perspektif perlindungan anak dalam penyiapan infrastruktur stadion, keamanan dan keselamatan pertandingan, serta jadwal pertandingan,” ujar Keumala Dewi.
Aliansi CSO Peduli Anak Indonesia juga merekomendasikan adanya pemulihan trauma dan penjangkauan kepada keluarga korban, khususnya anak yang kehilangan orangtua dan orang tua yang kehilangan anak, untuk memastikan psikososial support dan dukungan serta perawatan yang dibutuhkan oleh keluarga korban diterima secara layak. (*)