Oleh: Riska Widiana
Kali ini aku mencoba menceritakan tentang diriku sebagai sebatang pohon tua, “Tahukah kau?” Aku berusaha merawat seluruh daun yang kupelihara agar tidak berwarna kuning, aku juga meminta angin untuk jangan menghembuskan zaman, sekiranya membuat daun-daun di tubuh ini layu dan gugur.
Namun itu tidak mungkin. Sungguh hal yang paling menyedihkan bagi diri sendiri adalah kehilangan segala sesuatu yang telah dijaga kemudian pergi tanpa kita kehendaki, dan juga berpura-pura kuat meski sebenarnya seluruh tubuh mulai menua dengan kesedihan. Usia tidak bisa berbicara baik-baik pada waktu. Sebab mereka adalah sepaham yang tak berbicara satu samalain. Setiap kali seluruh duri menancap di tubuh ini, tak ada yang mampu membuang, lagi-lagi diri sendiri adalah penyembuh paling ulung ketika tersakiti. Aku suka berbicara pada diri sendiri, menyembuhkan diri sendiri dan kemudian pulih kembali, sebab aku kuat, kesedihan tidakselamanya akan tumbuh sepanjang hayat.
Meskipun terkadang aku iri pada langit yang banyak diisi oleh bintang-bintang, suatu hari aku ingin menjadikan bulan keperakan yang purnama di atasku sebagai hadiah paling indah untuk menerangi orang-orang yang berjalan di kegelapan, namun harapan itu luruh seperti daun di musim gugur yang menemui ajalnnya, aku hanyalah serupa pungguk yang ingin meraih bulan.Langit di atasku tiba-tiba kosong, gelap dan hitam pekat. Sungguh kali ini aku harus berpura-pura kuat dan merasa sebagai pohon yang tidak kesepian. Saat purnama yang kupuja di bawa pergi oleh awan untuk menyembunyikan jelitanya.
Meskipun pada kenyataannya tubuhku adalah teman paling baikyang selalu tabah menahan luka yang menganga. Di sepanjang waktu dari ketiadaan yang gugur. Semua orang mengatakan aku adalah sebatang pohon yang kokoh, aku hanya tersenyum mendengar percakapan beberapa orang yang singgah di sini.Aku adalah pohon tua, terlihat kokoh dari luar, namun di dalamnya kepedihan memakan daging-daging tubuh sedikit demi sedikit, mungkin suatu saat akan patah, walaupun demikian. Aku mempunyai kekuatan dari tubuh ini, semakin kuat kesakitan ingin merobohkan seluruh tubuh yang menua karena bersedih. Semakin kuat pula aku untuk bertahan kuat untuk tetap berdiri tegak.
Jam. 15. 15
Angin berdesir melawan keresahan banyak manusia, kulihat puluhan rumah menahan tubuhnya dari angin yang begitu garang, orang-orang sibuk menyediakan baskom di bawah atap yang bocor. Menampung air yang berhasil masuk ke dalam rumah, burung-burung hinggap di rantingku yang kokoh, mereka berusaha saling melindungi.
Namun seluruh tubuhku telah sempurna basah diguyur hujan. Aku terbiasa menahan gigil dan menampung hujan, akarku akan menyerap seluruh air-air yang mengalir, supaya tidak menyakiti orang-orang yang kucintai. Apabila pohon ini ditebang oleh banyak orang maka aku sendiri tak bisa berbuat banyak, sebab aku tak bisa berbicara ataupun berontak. Kampung ini akan menambah murkanya alam, dipanggilnya air laut yang ganas untuk menghancurkan seluruh orang-orang yang tega menyakiti.
Meski tubuhku adalah tempat persinggahan bagi orang-orang saat panas terik matahari ataupun ketika hujan, aku suka, sebab dengan begitu aku bisa berbicara dan membelai tubuh mereka lewat angin. Sebuah bahasa yang kusampaikan ke pada manusia yang penuh kasih. Bahwa kami sebangsa pohon juga mencintai manusia-manusia di sana. Meskipun terkadang tidak terbalas dan dihargai, kami tetap tegar dan terus menampung banyak oksigen dan menyerap banyak air demi manusia yang penuh kasih.
Setelah hujan turun dengan lebatnya beserta angin yang meraung. Daun-daun yang kurawat jatuh meninggalkan kami, apalah daya. Usianya telah sampai. Bahkan malaikat Izrail tak mampu melawan takdir. Jika itu adalah perintah dari yang Maha kuasa, aku mengiklaskan segala kepergian dan beberapa ranting yang patah, bahkan hanya ada yang cedera ringan, tapi aku sebagai pohon yang tua.
Semakin mantap untuk terus mengokohkan tubuh ini. Aku menatap ke pada tunas baru yang mulai menumbuhkan daun, ada harapan baru tumbuh di sana. Mereka tersenyum menguatkan, kami tersenyum bersama. Sebab kami tahu segala yang pergi tentu akan ada yang datang lagi. Termasuk ke pada bulan keperakan yang berakhir di akhir purnamanya, saat sebelum awan-awan hitam menutup arah pandang kami. Aku pohon tua yang serupa pungguk akan setia menunggu purnama berikutnya. Untuk melihatnya kembali. Meskipun tak mampu memiliki, namun terkadang dengan melihatnya tetap bersinar aku bahagia. Sebelum tubuhku menemui ajal untuk lenyap.
Riau, 2021
Riska Widiana asal Riau Kabupaten Indragiri Hilir. Kelahiran 25-november 1997.Kesibukannya sekarang mengajar. Mulai aktif menulis pada tahun 2020 hingga sekarang, memiliki buku antologi yang berjudul (DALAM KATA AKU MENCIPTA : 2020 DI RUANG KARYA) dan antologi bersama yaitu [ANALEKTA RASA : 2020 DI GUEPEDIA] tergabung dalam komunitas kelas puisi alit ( kepul) dan kelas menulis bagi pemula. Karyanya pernah termuat di tirastimes, Dan di beberapa komunitas menulis lainnya, jejaknya bisa ditelusuri dengan akun fb. Riska widiana dan mentari ig.riskawidiana97, email riskatembilahan@gmail.com